Jayapura, Jubi TV– Ada total 671 penangkapan sewenang-wenang di tahun 2021, meningkat 45,9 persen dibandingkan tahun 2020, dan hanya 17 orang di antaranya berada di luar West Papua.
Di tengah hiruk pikuk berbagai isu yang lalu lalang dalam kehidupan sehari-hari masyarakat asli Papua, isu kekerasan dan ketiadaan ruang untuk berekspresi terus meninggalkan jejak buruk setiap tahun.
Kali ini organisasi pembela hak asasi manusia berbasis di London, TAPOL, merilis laporan tahunan mereka terkait situasi di Papua tahun 2021, pada 20 Oktober 2022.
Laporan tahunan terbaru TAPOL tentang “Kebebasan Berekspresi dan Kebebasan Berkumpul” di West Papua menyimpulkan bahwa situasi kebebasan berekspresi dan berkumpul di West Papua dan isu-isu terkait West Papua pada tahun 2021 terus memburuk, ditandai para aktivis yang menjadi sasaran kriminalisasi dan aparat keamanan yang terlibat kolusi dengan aktor-aktor non-negara.
Penangkapan massal dan sewenang-wenang yang terjadi di tahun 2021 bahkan meningkat dibanding tahun 2020.
Ketua TAPOL Steve Alston mengatakan: “Aparat keamanan telah melakukan 45,9 persen lebih banyak penangkapan sewenang-wenang dibandingkan tahun 2020, dengan total 671 orang ditangkap. Dari jumlah itu hanya 17 orang di antaranya berada di luar West Papua”.
“Aparat keamanan menangkap lebih banyak orang dan menggunakan berbagai alasan untuk melakukannya. Mereka menutup ekspresi di ruang publik tempat orang Papua dan Indonesia seharusnya tidak merasa bahwa mereka berisiko diperlakukan sebagai penjahat ketika menggunakan hak-hak mereka,” lanjut Alston.
Laporan ini juga mencatat rekam jejak represi aparat keamanan terhadap mereka yang dengan lantang mendukung hak penentuan nasib sendiri West Papua serta menentang perlakuan Pemerintah Indonesia terhadap rakyat West Papua. Represi tersebut termasuk pembubaran sewenang-wenang, penangkapan sewenang-wenang, teror dan intimidasi, serta pemadaman internet dan serangan digital.
Seperti yang dicatat dalam laporan tersebut, “Tahun 2021 mencatat kelanjutan dan, dalam kasus-kasus tertentu, intensifikasi, serangan terhadap hak-hak rakyat West Papua dan Indonesia untuk berkumpul dan mengekspresikan pendapat mereka.”
Berikut 8 kesimpulan utama dalam laporan tersebut. Pertama bahwa terdapat total 671 orang yang diperkirakan ditangkap sepanjang tahun 2021, meningkat 45,9 persen dibandingkan tahun 2020.
Kedua seiring meningkatnya jumlah total penangkapan, jumlah insiden penangkapan justru menurun. Ini berarti bahwa cara penangkapan massal lebih sering digunakan oleh aparat keamanan.
Ketiga pihak berwenang masih terus menggunakan tuduhan makar untuk mengkriminalisasi aktivis yang mempromosikan hak penentuan nasib sendiri bagi rakyat West Papua. Pemerintah Indonesia sudah menyatakan tidak mengakui kegiatan-kegiatan yang diklaim sebagai mempromosikan “separatisme”, telah memperburuk jejak kriminalisasi ini.
Keempat meskipun pemerintah menggunakan klaim pendekatan ‘kemanusiaan’ pada akhir tahun 2021, namun alasan ‘terorisme’ digunakan oleh aparat keamanan dan operasi intelijen untuk mengganggu dan mengkriminalisasi kelompok sipil non-kekerasan.
Kelima mahasiswa menjadi kelompok yang paling disasar pembubaran aksi protes atas alasan Covid-19, terutama pembubaran di luar wilayah West Papua. Mahasiswa menjadi target utama dalam 29 kasus yang dilaporkan, yakni lebih dari 69 persen dari total insiden.
Keenam pihak berwenang masih menggunakan alasan pandemi Covid-19 untuk membatasi kebebasan berekspresi; membungkam demonstrasi yang tidak mereka setujui; Pemerintah tetap menyatakan bahwa “separatisme”, yang mereka definisikan secara sewenang-wenang, tidak mendapat jaminan perlindungan kebebasan berkumpul; dan militer telah melabeli perlawanan bersenjata sebagai ‘teroris’ dengan mengklaim bahwa warga sipil yang tidak bersalah terlibat dalam ‘terorisme’.
Ketujuh aparat telah melakukan pelanggaran atas dasar tindakan (by commission), seperti pembubaran demonstrasi dan penangkapan pelaku sewenang-wenang, penyiksaan, pemukulan, dan perlakuan kejam terhadap orang-orang yang ditangkap; serta pembiaran (by omission), seperti dengan sengaja mengabaikan narapidana yang membutuhkan perawatan.
Kedepan Pada beberapa peristiwa, pertemuan-pertemuan dirongrong oleh kelompok-kelompok milisi yang para anggotanya melakukan serangan fisik, mengintimidasi dan menganiaya demonstran dihadapan polisi tanpa ada upaya pencegahan.
Bulan lalu, Penjabat Komisioner Tinggi PBB bidang HAM, Nada Al-Nashif, pada pembukaan Sidang ke-51 Dewan HAM PBB di Jenewa menyindir kekerasan intensif yang terjadi di Papua dengan jumlah korban yang belum diketahui. Al-Nashif juga menyinggung kasus dugaan anggota TNI memutilasi warga sipil di Papua pada Agustus 2022.
“Laporan kekerasan yang semakin intensif … berakibat pada jatuhnya korban dan kematian sipil serta pengungsi internal dalam jumlah yang tidak diketahui,…(serta) laporan tentang ditemukannya potongan jasad empat warga sipil asli Papua di Timika, Provinsi Papua Barat, tanggal 22 Agustus”, demikian kata Nada Al-Nashif.
Disorotinya West Papua oleh Al-Nashif menunjukkan bahwa memburuknya situasi hak asasi manusia di lapangan masih terus menjadi perhatian PBB.
Belum lama ini, Amnesty Internasional Indonesia juga merilis laporan berjudul “Meredam Suara, Membungkam Kritik: Tergerusnya Kebebasan Sipil di Indonesia”. Laporan dari tahun 2019-2021 itu menemukan fakta merebaknya serangan terhadap kebebasan sipil, setidaknya meliputi 328 kasus serangan fisik dan serangan digital yang diarahkan pada kebebasan sipil dengan total setidaknya 834 korban.
Serangan itu berasal dari aktor-aktor negara yang didominasi oleh kepolisian, dan serangan dari aktor non-negara baik individu maupun kelompok, yang kerap kali turut menyerang orang lain yang kritis terhadap negara. (*)
Artikel ini sudah terbit di Jubi.id dengan judul: Laporan TAPOL: 8 jejak kriminalisasi, kolusi, dan janji-janji palsu di West Papua tahun 2021