News  

Langgar Otsus, RUU pemekaran bukti kemunduran demokrasi

Otsus Opini-diskursus-Otsus
Aksi masyarakat Papua memprotes pelaksanaan Oronomi Khusus Papua - Dok. Jubi
banner 120x600

Jayapura, Jubi – Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid menilai penetapan tiga Rancangan Undang-undang atau RUU tentang Pemekaran Papua sebagai RUU Inisiatif DPR RI oleh sidang paripurna DPR RI pada Selasa (12/4/2022) menunjukkan terjadinya kemunduran demokrasi di Indonesia. Ia menyayangkan ketiga RUU yang dibuat tanpa melibatkan rakyat Papua.

Hal itu disampaikan Usman Hamid dalam acara Media Briefing Rencana Pemekaran Wilayah, “Langkah Mundur Demokrasi di Tanah Papua” yang diselenggarakan Public Virtue Institute secara daring pada Kamis (14/04/2022). Usman menyebut ketiga RUU Pemekaran Papua itu melanggar Otonomi Khusus Papua.

Usman menegaskan pemekaran provinsi di Papua diatur dalam Undang-undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Papua (UU Otsus Papua Lama). Pasal 76 UU Otsus Papua Lama menyatakan pemekaran provinsi hanya dapat dilakukan jika ada persetujuan dari Majelis Rakyat Papua (MRP) sebagai lembaga representasi kultural Orang Asli Papua.

Akan tetapi, pemerintah dan DPR RI secara sepihak mengubah aturan itu dengan mengundangkan Undang-undang Nomor 2 Tahun 2021 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua (UU Otsus Papua Baru). UU Otsus Papua Baru memberi wewenang kepada pemerintah dan DPR RI untuk memekarkan Provinsi Papua, tanpa harus mendapat persetujuan MRP.

“Memang ada UU Otsus Papua Baru, yang merupakan amandemen dari UU Otsus Papua Lama, dan tidak mengharuskan pemekaran provinsi melalui persetujuan MRP. Namun, perubahan UU Otsus Papua itu tidak ditempuh berdasarkan Pasal 77 UU Otsus Papua Lama, yaitu melalui usulan rakyat Papua,” ujar Usman.

UU Otsus Papua Baru sendiri tengah digugat MRP di Mahkamah Konstitusi, karena disusun tanpa keterlibatan MRP. Namun kini DPR RI membuat tiga RUU Pemekaran Papua berdasarkan UU Otsus Papua Baru. “Jadi, pemekaran wilayah tanpa persetujuan MRP merupakan sebuah pelanggaran terhadap Otonomi Khusus Papua,” kata Usman.

Usman menilai cara DPR RI dan pemerintah menjalankan pemekaran Papua menunjukkan kecenderungan resentralisasi untuk menarik kembali otonomi daerah. Ia menyatakan kecenderungan untuk mengurangi otonomi daerah dan memperbesar kewenangan pemerintah pusat atau resentralisasi juga terlihat dalam pengaturan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.

Untuk mencegah berlanjutnya resentralisasi tersebut, Usman menyatakan pembahasan tiga RUU Pemekaran Papua harus dihentikan atau ditunda. Setidak-tidanya, demikian menurut Usman, DPR RI harus terlebih dahulu melakukan konsultasi rencana pemekaran Papua kepada MRP, dan meminta persetujuan MRP.

Usman mengatakan pemekaran Provinsi Papua yang dibuat tanpa konsultasi dengan MRP, DPR Papua, serta Gubernur Papua adalah cermin dari ketidakpatuhan pada aturan hukum yang telah disepakati sebelumnya. Apa lagi pemekaran itu tetap dijalankan meskipun mendapatkan penolakan luas dari masyarakat Papua yang berunjuk rasa di berbagai daerah.

Usman menyatakan warga yang mendukung pemekaran ada, namun jumlahnya sedikit, dan sangat terasa dikendalikan oleh orang-orang yang memiliki kepentingan politik dari pemekaran wilayah. “Itu yang seharusnya diperhatikan. Pemerintah setidak-tidaknya menghormati representasi kultural Orang Asli Papua, yakni MRP yang menjalankan kewenangan untuk memastikan perlindungan Orang Asli Papua,” katanya.

Usman juga mengingatkan bahwa UU Otsus Papua Baru saat ini menjadi perkara di Mahkamah Konstitusi, karena MRP mengajukan permohonan uji materiil UU Otsus Papua. Menurutnya, DPR RI seharusnya menunda pembahasan tiga RUU Pemekaran Papua hingga Mahkamah Konstitusi menjatuhkan putusan atas permohonan uji materiil yang diajukan MRP itu.

“Kalau pemerintah dan DPR memaksakan, masyarakat akan curiga, sebenarnya pemekaran ini untuk kepetingan siapa? Apakah untuk Orang Asli Papua? Apakah untuk kesejahteraan masyarakat, atau sekedar untuk kepentingan bisnis yang besar saja? Pemekaran wilayah yang dikakukan terhadap Papua bertolak belakang dengan kebijakan pemerintah Indonesia yang sedang memberlakukan moratorium pemekaran wilayah atau pembentukan Derah Otonom Baru,” kata Usman.

Ketua MRP, Timotius Murib mengatakan dari 29 kabupaten/kota di Papua ada delapan wilayah yang sudah mengajukan protes terhadap rencana pemekaran yang sementara di gagas pemerintah pusat. “Apa yang dilakukan pemerintah pusat jelas sudah melanggar hak konstitusional rakyat Papua. Oleh karena itu, MRP dengan tegas menolak adanya pemekaran Papua,” kata Murib. (*)

Artikel ini telah terbit di Jubi.id dengan judul 3 RUU Pemekaran Papua menunjukan kemunduran demokrasi Indonesia

Komentar
Dapatkan update berita terbaru setiap hari dari News Room Jubi. Mari bergabung di Grup Telegram “News Room Jubi” dengan cara klik link https://t.me/jubipapua , lalu join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.
banner 400x130