- Pemerintah Indonesia melucuti berbagai aturan perlindungan lingkungan demi melancarkan proyek “lumbung pangan” (food estate) untuk menggenjot produksi makanan.
- Sebuah perusahaan yang dijalankan oleh para kroni Menteri Pertahanan Prabowo Subianto bersiap memanen keuntungan dari proyek tersebut. Mereka berupaya menggaet investasi sekitar Rp 33 triliun.
- Proyek lumbung pangan juga membidik hutan-hutan di Papua. Para pemerhati mengatakan rencana tersebut melanggar berbagai aturan, selain dipenuhi banyak sekali konflik kepentingan.
KETIKA dihantam pandemi COVID-19 yang mengacaukan rantai pasokan dunia, pemerintah Indonesia mencanangkan rencana ambisius untuk menggenjot produksi pangan dalam negeri melalui proyek “lumbung pangan” (food estate) pada bulan Juni lalu. Saat itu, para pejabat menyatakan bahwa rencana tersebut tidak akan merusak lingkungan.
Sebaliknya, mereka mengeklaim bakal menangkal ancaman krisis pangan dengan menggenjot hasil panen serta mendorong teknik pertanian modern yang ramah lingkungan.
Namun, hanya dalam waktu lima bulan, para pekerja di bawah komando Kementerian Pertahanan telah mengayunkan gergaji mereka untuk membabat habitat orangutan di Kalimantan dan mengubahnya menjadi perkebunan raksasa.
Kisah di balik pembukaan perkebunan itu menyingkap bagaimana Kementerian Pertahanan memanfaatkan serangkaian aturan yang telah dirancang dengan tergesa-gesa selama pandemi, melucuti prinsip-prinsip perlindungan lingkungan guna membuka lahan baru yang luas untuk perkebunan pangan.
Investigasi oleh The Gecko Project dan Tempo menemukan bahwa Kementerian Pertahanan bergerak sangat cepat sampai-sampai gagal mematuhi aturan-aturan tersebut, bahkan ketika aturan-aturan itu telah dirampingkan sekalipun, sehingga berpotensi membabat ratusan hektar hutan secara ilegal.
Perkebunan di Kalimantan Tengah itu bakal mencaplok sekitar 32.000 hektar lahan yang nyaris seluruhnya masih berupa hutan hujan. Dan ini hanyalah sebagian kecil dari ambisi Kementerian Pertahanan.
Setelah Menteri Pertahanan Prabowo Subianto didapuk pegang peran utama dalam program food estate, jajarannya menyusun rencana untuk menanam singkong, sebuah tanaman palawija jenis ubi, di lahan seluas lebih dari 1 juta hektar di berbagai wilayah Indonesia.
Investigasi ini juga menemukan bukti bahwa Kementerian Pertahanan tengah berupaya untuk mengarahkan proyek-proyek food estate, yang nilainya bisa mencapai puluhan triliun rupiah, kepada sebuah perusahaan tanpa rekam jejak yang jelas dalam pengembangan perkebunan, yakni PT Agro Industri Nasional (Agrinas).
Agrinas dimiliki oleh sebuah yayasan nirlaba yang juga dikendalikan oleh Prabowo dengan dukungan sederet purnawirawan dan perwira tinggi militer.
Para analis mempertanyakan legalitas struktur kepemilikan itu karena tampaknya melanggar aturan yang dimaksudkan untuk memastikan agar yayasan benar-benar melayani tujuan amal.
Mereka juga mengatakan bahwa hubungan erat Prabowo dengan para pejabat eksekutif Agrinas dan komisarisnya melahirkan konflik kepentingan yang serius.
Agrinas dan Kementerian Pertahanan membantah bahwa mereka bermitra dalam program lumbung pangan. Meski demikian, kami menemukan bukti bahwa Agrinas berusaha menarik investasi senilai Rp 33 triliun dari pemerintah asing. Untuk menggaet investasi itu, mereka menyebutkan punya akses khusus atas proyek tersebut serta punya koneksi dengan Prabowo.
Penyelidikan kami juga mengungkap bahwa Kementerian Pertahanan sedang melancarkan rencananya untuk mengembangkan perkebunan pangan di Papua, kawasan yang menjadi pusat keanekaragaman hayati di bagian timur Indonesia. Saat ini Papua menyimpan cadangan hutan hujan utuh terbesar di Asia.
Upaya Kementerian Pertahanan untuk membuka perkebunan di Papua itu dikomandoi oleh seorang purnawirawan Angkatan Laut. Menurutnya, kebutuhan tenaga kerja untuk perkebunan pangan di sana bakal dipasok oleh para pemuda Papua yang direkrut sebagai anggota korps Komponen Cadangan (Komcad) yang baru terbentuk. Sementara itu, pasukan tentara telah dikerahkan untuk melancarkan proyek perkebunan pangan di Kalimantan.
Keterlibatan militer di Papua banyak menuai kritik. Militer punya rekam jejak pelanggaran hak asasi manusia (HAM) terhadap masyarakat adat Papua demi melancarkan pengerukan sumber daya alam untuk proyek-proyek pertambangan dan perkebunan.
Kementerian Pertahanan telah mengumumkan rencana untuk menanam padi dan singkong di ribuan hektar lahan hutan dan tanah ulayat di Merauke, daerah yang penuh gejolak militer di ujung timur Indonesia. Namun, mereka tidak merundingkan rencana itu dengan warga setempat yang bakal sangat terdampak. Warga Papua, yang hak-haknya telah dilanggar oleh serangkaian regulasi baru itu, masih diliputi ketidaktahuan.
“Kita bermain dengan waktu”
Presiden Joko Widodo (Jokowi) meluncurkan program lumbung pangan di tengah alarm peringatan krisis pangan global akibat pandemi Covid-19.
Pagebluk virus korona bisa menjadi “bencana” bagi jutaan orang di seluruh dunia yang hidup di ambang kelaparan, kata Kepala Ekonom Program Pangan Dunia.
Badan-badan di PBB menegaskan, masalahnya bukanlah soal kurangnya produksi bahan pangan.
Ancaman sebenarnya muncul ketika makanan tidak bisa sampai ke orang-orang yang membutuhkan karena rantai pasokan yang tersendat akibat kebijakan pembatasan wilayah serta banyaknya pekerja yang terpaksa tinggal di rumah selama pandemi. Akibatnya, banyak keluarga di Indonesia mungkin kesusahan karena tidak mampu membeli makanan akibat perlambatan ekonomi.
Di sisi lain, kalangan elit politik selalu berambisi mengurangi ketergantungan Indonesia pada impor pangan melalui peningkatan produksi dalam negeri. Isu ini mengemuka sebagai topik perdebatan di dua pemilihan presiden terakhir.
Jokowi, yang sudah menjabat selama dua periode, memerintahkan para menterinya untuk mewujudkan ambisi itu, sekaligus menangkal ancaman krisis pangan akibat pandemi. Caranya, dengan menggenjot produksi bahan pangan pokok seperti beras lewat pembukaan perkebunan pangan raksasa.
Proses perizinan untuk membuka perkebunan di Indonesia terbilang rumit dan lama. Perusahaan harus terlebih dahulu mendapatkan persetujuan dari berbagai instansi pemerintahan, berunding dengan warga setempat, serta melakukan analisis mengenai dampak lingkungan (AMDAL).
Area lahan dan hutan yang luas tak boleh dialihfungsikan untuk pertanian atau perkebunan, untuk melindungi daerah aliran sungai (DAS) dan menjaga kelestarian tutupan hutan.
Para pejabat di Jakarta lantas merancang serangkaian aturan untuk memangkas alur birokrasi.
Begitu aturan-aturan baru mulai muncul, para pengamat menduga bahwa pemerintah lebih mengutamakan jalan pintas, alih-alih menegakkan asas-asas hukum dan perlindungan lingkungan.
Adrianus Eryan, peneliti hukum Indonesian Center for Environmental Law (ICEL), menilai gelagat pertama terlihat dari dokumen “Rencana Operasional Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) Food Estate” yang ditemukannya secara daring di pertengahan tahun 2020.
Dokumen yang dikeluarkan oleh Direktorat Pengukuhan dan Penatagunaan Kawasan Hutan, Direktorat Jenderal Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) itu memaparkan rencana pemerintah untuk mengalihfungsikan jutaan hektar lahan hutan di empat provinsi menjadi “lahan pangan”.
Para pejabat di Jakarta lantas merancang serangkaian aturan untuk memangkas alur birokrasi.
Menurut Adrianus, dokumen petunjuk teknis semacam itu normalnya dikeluarkan setelah payung hukumnya sudah disahkan.
Rencana alih fungsi lahan sebagaimana dijabarkan di dokumen itu tidak punya landasan hukum yang jelas. “Ini memang agak aneh karena terbalik sebenarnya,” katanya.
Begitu regulasi pertama tentang food estate itu diterbitkan pada Oktober 2020, potensi untuk alih fungsi lahan terbuka lebar.
Peraturan baru tersebut memberikan kewenangan kepada pemerintah untuk dapat mengalihfungsikan jutaan hektar lahan yang sebelumnya tidak bisa digunakan untuk perkebunan pangan, termasuk kawasan hutan lindung.
Peraturan itu memungkinkan pemerintah melancarkan alih fungsi lahan dengan sedikit kontrol dan perimbangan kewenangan.
Memang ada serangkaian syarat dokumen yang harus dipenuhi, termasuk rencana pengelolaan dan izin lingkungan. Tetapi hampir semua dokumen itu bisa dibuat setelah pelepasan lahan.
Alih fungsi lahan untuk food estate hanya mensyaratkan “komitmen” untuk melengkapi dokumen-dokumen tersebut.
Persyaratan utamanya, harus ada Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS). Kajian ini biasanya berisi analisa mendalam, termasuk terkait konsultasi publik, yang hasilnya dijadikan rekomendasi untuk perencanaan jangka panjang.
Akan tetapi, regulasi baru itu memperbolehkan KLHS “yang dilakukan secara cepat” dalam kondisi mendesak.
Menurut analisa ICEL, instrumen ini bertumpu pada penilaian para ahli daripada bukti empiris.
ICEL menemukan bahwa KLHS cepat “cenderung bersifat spekulatif dan memberikan ruang yang besar bagi ketidakpastian.” Mereka pun mempertanyakan mengapa pemerintah memilih instrumen ini untuk proyek food estate.
Organisasi pembela lingkungan, Wahana Lingkungan Hidup (Walhi), menilai ‘KLHS cepat’ tidak memiliki dasar hukum. Mereka mendesak agar KLHK mencabut regulasi itu.
Pada Juli 2021 regulasi itu sempat diperbarui, tapi perubahannya tidak substansial.
Yeka Hendra Fatika, anggota Ombudsman Republik Indonesia, lembaga negara yang mengawasi kinerja pemerintah, mengatakan, bahkan setahun setelah proyek food estate itu diumumkan, masih belum jelas siapa yang akan menjadi pelaksananya dan bagaimana skema pembiayaannya.
Tanpa perencanaan baku, proyek itu rentan memunculkan “potensi maladministasi”, tambahnya.
Dua bulan setelah regulasi pertama food estate dikeluarkan, kekhawatiran akan krisis pangan global telah mereda, menurut analisa Bank Dunia yang dipublikasikan pada Desember 2020.
Berbagai negara sudah kembali mengekspor hasil pertanian. Perdagangan bahan pangan pokok pun diharapkan meningkat lagi untuk pertama kalinya sejak empat tahun terakhir.
Menurut Bank Dunia, masalah yang dihadapi keluarga miskin di Indonesia adalah mahalnya harga pangan yang disebabkan oleh banyak hal, termasuk biaya pengolahan dan pengangkutan.
Masyarakat miskin di Indonesia juga masih sulit memperoleh makanan bergizi seperti sayuran dan buah-buahan.
Program food estate, yang target utamanya adalah produksi padi dan singkong, tidak akan bisa mengatasi dua masalah itu secara langsung.
“Masalah struktural itu tidak bisa diselesaikan hanya dengan pembukaan lahan secara besar-besaran,” kata Bhima Yudhistira, ekonom dan direktur Center of Economic and Law Studies.
Dalam analisanya, Bank Dunia memperingatkan bahwa salah satu kunci keberhasilan food estate adalah “pengelolaan lingkungan dan berbagai risiko sosial.” Namun, pemerintah Indonesia malah melucuti asas-asas perlindungan sosial dan lingkungan yang dianggap berpotensi menghambat pelaksanaan food estate.
Dalam sebuah wawancara dengan kami pada September lalu, Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko mengatakan bahwa proses regulasi itu sah-sah saja karena didasari oleh situasi mendesak yaitu ancaman “krisis pangan”.
“Kita ini kan bermain dengan waktu,” katanya. “Jadi kalau orientasinya melayani masyarakat, maka keselamatan rakyat adalah hukum tertinggi”.
“Banyak safeguard yang diabaikan”
Awalnya, fokus program food estate lebih banyak tertuju pada rencana pemerintah untuk menggalakkan produksi padi di wilayah lahan gambut Kalimantan Tengah.
Rencana itu sontak menuai banyak kritik karena dinilai hanya akan mengulang bencana yang pernah terjadi dua dekade lalu di lokasi yang sama. Saat itu, proyek serupa menyebabkan lahan gambut mengering, dan justru menghasilkan emisi gas rumah kaca dalam jumlah masif dan hanya menghasilkan sedikit panenan padi.
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) berupaya menampik kekhawatiran bahwa proyek baru itu bakal menyebabkan kerusakan lingkungan. Sebaliknya, KHLK mengeklaim proyek itu bertujuan untuk merehabilitasi kawasan hutan lindung yang telah digunduli secara ilegal, serta mendukung wanatani yang dapat menuai hasil panen tanpa perlu membabat hutan.
“Kami juga berkomitmen untuk memastikan bahwa tidak ada habitat orangutan Kalimantan yang akan disasar,” kata Siti Nurbaya Bakar, Menteri KLHK.
Namun, Presiden Jokowi juga mendapuk Menteri Pertahanan, Prabowo Subianto—mantan pesaingnya dalam dua kali pilpres terakhir—untuk bertanggung jawab atas proyek food estate.
Pada bulan yang sama ketika Jokowi mengunjungi lahan gambut di selatan Kalimantan, para pejabat TNI dan Kementerian Pertahanan mengadakan pertemuan dengan pemerintah daerah di Kabupaten Gunung Mas, 150 kilometer di bagian utara lokasi kunjungan Jokowi.
Di sana, masyarakat adat suku Dayak hidup di sepanjang sungai-sungai besar yang berkelok-kelok ke selatan dari daerah hulu pegunungan di tengah-tengah Pulau Kalimantan, menembus hutan, dan bermuara ke Laut Jawa.
Kementerian Pertahanan mengincar hamparan hutan belantara di sisi timur Sungai Kahayan, yang merupakan ruang hidup penduduk setempat. Di tempat itu, masyarakat lokal mengumpulkan makanan, menyadap karet, dan mencari kayu.
Meski sempat dilibatkan dalam pertemuan-pertemuan awal, warga desa di sekitar lokasi proyek belum mendapatkan informasi yang cukup.
Menurut para kepala desa yang kami wawancarai, mereka sempat diundang dalam sebuah pertemuan dengan para pejabat kementerian dan seorang perwira tinggi tentara pada Juli 2021 lalu, sebulan setelah proyek food estate dicanangkan.
Orang-orang dari Jakarta tersebut memaparkan keinginan mereka untuk membuka perkebunan demi mengamankan kebutuhan pangan nasional. Namun, rencana itu tidak dijelaskan secara rinci. Warga desa tidak diberi tahu di mana lokasinya dan kapan proyek itu akan dimulai.
Hanya dalam beberapa pekan kemudian, Prabowo mengajukan permintaan kepada KLHK untuk membangun perkebunan pangan di Gunung Mas, yang luasnya setara dengan hampir separuh Jakarta. Saat itu belum ada peraturan yang menjelaskan apa itu kawasan food estate, apalagi cara membuatnya.
Hasil pemetaan citra satelit menunjukkan bahwa ketika rencana lumbung pangan diajukan, sebagian besar lokasi yang diincar sebenarnya merupakan kawasan hutan hujan.
Mengacu pada kajian yang disetujui oleh pemerintah, sebagian besar area itu merupakan habitat orangutan.
“Memang awalnya nggak mereka beritahu [bahwa luasnya] sebanyak 33.000 hektar itu”, kata Mine Yantri, seorang kepala desa yang menghadiri pertemuan pada Juli 2021 lalu.
“Ya memang kami tidak bisa menolak program pemerintah.”
…
Proses pembukaan lahan di Gunung Mas dimulai pada pertengahan November 2020, ketika regulasi tentang food estate baru berumur tiga pekan.
Meski sempat dilibatkan dalam pertemuan-pertemuan awal, warga desa di sekitar lokasi proyek belum mendapatkan informasi yang cukup.
Sigo, seorang pemuka adat dari kampung Tewai Baru, mendapati jalurnya mencari kayu dihadang oleh para tentara yang sedang menjaga lahan yang baru dibuka. Warga desa lantas mulai menuding para tokoh masyarakat seperti Sigo telah menjual lahan tanpa sepengetahuan warga.
“Serba salah ya,” kata Sigo.
Persyaratan alih fungsi lahan berupa konsultasi publik untuk KLHS baru dilakukan oleh Kementerian Pertahanan tiga bulan kemudian, yakni pada Februari 2021. Saat itu, lebih dari 600 hektar lahan sudah dibuka.
Presentasi yang dipaparkan KLHK pada Rapat Kerja dengan Komisi IV DPR RI, Maret 2021, mengindikasikan bahwa Kementerian Pertahanan masih belum memenuhi berbagai ketentuan yang diwajibkan untuk mengalihfungsikan lahan.
Lahan yang diincar Kementerian Pertahanan masuk dalam kategori Hutan Produksi. Padahal prinsip yang telah lama berlaku dalam kaidah hukum kehutanan Indonesia menegaskan bahwa kawasan Hutan Produksi tidak boleh dikonversi menjadi perkebunan pertanian.
Menurut Adrianus dari ICEL, rentetan peristiwa itu menunjukkan adanya “dugaan pelanggaran” hukum kehutanan.
“Dalam konteks food estate ini, banyak safeguard yang kemudian diabaikan begitu saja,” tambahnya.
“Penyusunan KLHS yang diabaikan, masyarakat yang tidak dilibatkan, prosesnya juga dilakukan secara tertutup.”
Kepada kami, Kementerian Pertahanan berdalih bahwa pembukaan lahan itu sudah sesuai dengan regulasi tahun 2018 yang, dalam situasi mendesak, memperbolehkan “pinjam pakai” kawasan hutan untuk penggunaan lain tanpa mengubah statusnya. Mereka bilang sudah “menyesuaikan” ketika aturan food estate diberlakukan pada 2020.
Pembukaan lahan itu dilakukan “berdasarkan instruksi dari Presiden Jokowi dalam rapat kabinet.”
Ketika reporter kami mengunjungi lokasi tersebut pada Agustus lalu, lahan itu dijaga oleh tentara. Moeldoko, Kepala Staf Kepresidenan, mengatakan, penugasan tentara diperbolehkan oleh Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI.
Undang-undang itu mengharuskan Presiden mendapat persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat untuk pengerahan kekuatan TNI. Namun kami tidak menemukan dokumen yang mengkonfirmasi bahwa syarat tersebut telah dipenuhi. Dua pemerhati keamanan memberitahu kami bahwa pengerahan tentara untuk proyek lumbung pangan kemungkinan besar melanggar undang-undang.
Meskipun lahan yang sudah dibuka sangat luas, hanya sekitar 30 hektar lahan yang sudah ditanami singkong hingga Agustus 2021 lalu. Berdasarkan pengamatan reporter kami, pohon-pohon singkong itu banyak yang layu dan daunnya menguning. Tidak sedikit pula yang sudah mati.
Prabowo berambisi menanam singkong seluas lebih dari 1 juta hektar untuk menggantikan gandum, sebagai upaya mengurangi ketergantungan Indonesia pada impor pangan.Kementerian Pertahanan juga meyakini bahwa singkong bisa digunakan untuk berbagai produk olahan selain makanan, dari bahan bakar nabati hingga farmasi.
Akan tetapi, menurut Reinhardt Howeler, seorang ilmuwan yang puluhan tahun meneliti singkong, pembukaan perkebunan singkong terhitung susah. Sebagian besar kebutuhan singkong dunia dipasok oleh kebun rakyat, katanya, dan kebanyakan perkebunan singkong dengan luas lebih dari sekian ratus hektare sifatnya sangat padat karya sehingga tidak ekonomis.
Bagi Howeler, perkebunan singkong seluas 32.000 hektare adalah yang terbesar yang pernah ia dengar, sekitar lima kali lipat kebun terluas yang pernah dia dengar.
Profesor Achmad Subagio, ahli singkong yang mendampingi proyek Kementerian Pertahanan di Gunung Mas mengatakan, singkong membutuhkan perawatan intensif selama empat bulan setelah ditanam. Ia belum pernah mengunjungi lokasi perkebunan itu lagi sejak Februari.
“Jika tidak ada dana perawatan ya [singkongnya] kurus pasti,” tambahnya.
Namun Kementerian Pertahanan buru-buru merambah hutan bahkan sebelum mendapatkan anggaran untuk mencetak perkebunan. Hampir setahun setelah penebangan hutan itu dilakukan, mereka menyatakan “masih menunggu proses regulasi dan alokasi anggaran” untuk proyek tersebut.
Kembalinya Ksatria Jedi
Hingga Januari tahun ini, para pemain proyek food estate terpantau berburu investasi dari luar negeri untuk memodali ambisi mereka.
Berdasarkan dokumen yang ditemukan reporter kami, sebuah perusahaan yang bernama Agrinas saat itu aktif menawarkan proposal investasi proyek food estate ke pemerintah Korea Selatan. Angka yang diajukan terbilang fantastis, sekitar Rp 4,17 triliun hanya untuk perkebunan di Gunung Mas.
Di proposal itu, Agrinas memperkenalkan diri sebagai perusahaan milik Kementerian Pertahanan yang melapor langsung ke Prabowo. Agrinas juga memaparkan cita-citanya menjadi produsen tepung singkong “dari hulu-ke-hilir” terbesar di dunia, dengan 1 juta hektar perkebunan dan 34 pabrik di seluruh Indonesia.
Anehnya, Agrinas menyebut bahwa tawaran investasi itu juga dapat “meningkatkan ketahanan pangan Korea Selatan”. Padahal, proyek tersebut awalnya dicanangkan untuk memenuhi konsumsi pangan dalam negeri.
Ketika kami mengonfirmasi Agrinas dan Kementerian Pertahanan terkait kerja sama mereka, keduanya menyangkal bahwa mereka bermitra dalam proyek lumbung pangan.
Agrinas membantah bahwa mereka mengajukan proposal investasi kepada pemerintah Korea Selatan,tetapi tidak menanggapi pertanyaan-pertanyaan yang kami ajukan terkait dokumen yang kami temukan.
Terlepas dari bantahan tersebut, investigasi kami menemukan bahwa Agrinas terlibat sejak awal dicanangkannya proyek lumbung pangan.
Meskipun ukuran keterlibatan itu tidak begitu jelas, bukti-bukti yang ada menunjukkan bahwa Agrinas memegang peran kunci dalam rencana besar Kementerian Pertahanan untuk mencetak lebih dari 1 juta hektar perkebunan singkong.
Menurut perhitungan yang dibuatnya sendiri, Agrinas bisa memanen pendapatan hingga triliunan rupiah.
Dari data yang kami temukan, struktur perusahaan ini secara efektif memberikan kendali dan pengawasan kepada Prabowo dan orang-orang dekatnya. Banyak dari mereka berafiliasi dengan Partai Gerindra yang dipimpin Prabowo. Sebagian juga menduduki jabatan di pemerintahan.
Muhammad Haripin, peneliti keamanan dan pertahanan dari Badan Riset Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), menggambarkan tumpang-tindih posisi itu sebagai “segitiga maut”.
“Proses antara kepentingan bisnis, kepentingan privat, kepentingan publik dan kepentingan pemerintah, itu jadi blur,” katanya.
“Semuanya [ada] dalam satu pintu saja. Orang bisa berganti pakaian dengan cepat, seolah-olah [bekerja] untuk kepentingan yang baik gitu, padahal untuk kepentingan sendiri saja, kepentingan kelompoknya sendiri.”
…
Agrinas didirikan oleh sebuah yayasan sosial binaan Kementerian Pertahanan, Yayasan Kesejahteraan Pendidikan dan Perumahan (YKPP), yang pada awal didirikan bertujuan untuk membantu menyediakan perumahan dan pendidikan bagi purnawirawan dan tentara aktif. Tapi tujuan itu baru-baru ini berubah, tepatnya pada April 2020, ketika seorang purnawirawan jenderal TNI bernama Musa Bangun menjadi ketua pengurus yayasan, di saat yang sama Agrinas resmi berdiri. Musa Bangun juga memegang posisi tinggi di partai politik milik Prabowo.
Dokumen hukum yang kami temukan menunjukkan yayasan itu berganti nama menjadi Yayasan Pengembangan Potensi Sumber Daya Pertahanan (YPPSDP) pada awal 2021. Tujuan pendiriannya diperluas, memasukkan “menyelenggarakan kegiatan usaha” dan mendukung pemerintah “di bidang pertahanan negara”.
Sederet nama tokoh militer kemudian ikut bergabung dalam kepengurusan, termasuk Panglima TNI saat ini dan Prabowo sendiri.
Yayasan memang diperbolehkan memegang saham di perusahaan swasta tapi harus tunduk pada sejumlah aturan ketat. Aturan-aturan itu tampaknya dilanggar dalam kasus ini.
Menurut Undang-undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan, penyertaan modal sebuah yayasan dalam satu badan usaha dibatasi paling banyak 25 persen dari seluruh nilai kekayaan yayasan. Sementara itu, berdasarkan dokumen Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga Yayasan Pengembangan Potensi Sumber Daya Pertahanan yang kami peroleh, kepemilikan saham yayasan di Agrinas mewakili hampir setengah dari jumlah total kekayaan yayasan yang disebutkan dalam dokumen tersebut.
Ronald Rofiandri, peneliti hukum dari Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia mengatakan bahwa ketentuan itu dimaksudkan untuk menegaskan garis batas antara tujuan yayasan sebagai lembaga nirlaba dan tujuan perusahaan yang berorientasi profit.
Jajaran petinggi Agrinas dipenuhi oleh nama-nama pengurus Gerindra, partai yang dipimpin Prabowo. Beberapa dari mereka juga termasuk orang dekat Prabowo.
Rauf Purnama, pengusaha berusia 70-an dan Direktur Utama Agrinas, mencalonkan diri sebagai anggota DPR RI dari Partai Gerindra pada Pemilu 2019. Saat pilpres, ia juga membantu kampanye Prabowo sebagai anggota tim pakar.
Wakil Direktur Utama Agrinas, Dirgayuza Setiawan, kini berusia 30-an awal, mulai bekerja untuk Prabowo tak lama setelah lulus dari sebuah kampus di Australia. Ia pernah menjadi penyusun utama naskah pidato Prabowo. Dalam sebuah wawancara dengan The Jakarta Post pada 2014, ia mengatakan bahwa ayahnya sempat menjadi dokter pribadi Prabowo.
Saat maju di Pilpres 2014, Prabowo menyebut Dirgayuza sebagai salah satu dari tiga “Kesatria Jedi” — merujuk pada tokoh di film Star Wars: pemuda yang mengenyam pendidikan tinggi di luar negeri serta memiliki kedekatan personal dengan sang purnawirawan jenderal.
Dua Ksatria Jedi lainnya, Sudaryono dan Sugiono, menduduki kursi komisaris Agrinas, yang bertugas mengawasi kinerja harian jajaran direksi.
Sugiono juga anggota Komisi I DPR RI yang bertugas mengawasi anggaran Kementerian Pertahanan. Padahal, ada aturan yang melarang politisi untuk bekerja di bidang yang berkaitan dengan tugasnya sebagai anggota dewan.
“Jelas conflict of interest nya itu sangat-sangat besar,” kata Ronald Rofiandri.
Ketika kami menanyakan hal ini kepada Agrinas, mereka mengatakan bahwa Sugiono sudah mengundurkan diri dari posisinya di Agrinas. Namun, dokumen profil perusahaan yang terdaftar di Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum Kementerian Hukum dan HAM per 1 Oktober 2021 lalu masih mencantumkan namanya sebagai anggota Komisaris.
…
Agrinas diliputi kontroversi hanya dalam waktu tiga bulan sejak didirikan.
Pada Juli 2020, Majalah Tempo melaporkan bahwa Menteri Kelautan dan Perikanan saat itu, Edhy Prabowo — seorang politisi Gerindra — membatalkan larangan ekspor benih lobster dan memberikan izin ekspor kepada empat perusahaan yang terkoneksi dengan Gerindra. Salah satunya adalah Agrinas, yang sebenarnya tidak punya pengalaman terkait industri lobster ataupun industri berorientasi ekspor.
Akibat skandal itu, Edhy harus melepas jabatannya sebagai menteri. Empat bulan kemudian, pada November 2020, Edhy ditahan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Pada Juli 2021 lalu, ia didakwa menerima suap sebesar Rp 25,7 miliar terkait pembatalan larangan ekspor benih lobster, dan divonis lima tahun penjara.
Namun, tak seperti Edhy, Agrinas tidak didakwa oleh KPK. Selagi kasus korupsi ekspor benih lobster diusut, perusahaan itu justru tengah membantu Kementerian Pertahanan membuka perkebunan singkong di Gunung Mas.
Beberapa sumber kami di Gunung Mas menyebutkan bahwa Agrinas dan Kementerian Pertahanan sama-sama berada di proyek perkebunan singkong itu pada 2020. Jaya Samaya Monong, Bupati Gunung Mas, mengatakan bahwa Agrinas dan Kementerian Pertahanan saat itu merupakan “mitra”. Seorang letnan kolonel yang bekerja di proyek tersebut mendeskripsikan Agrinas sebagai “pengelola” perkebunan.
Proposal investasi yang ditujukan ke pemerintah Korea Selatan juga menyebut Agrinas sebagai pihak yang mengembangkan perkebunan di Gunung Mas.
Di halaman 4 proposal itu tertulis “Kami sedang mendirikan pabrik dan perkebunan pertama di Kalimantan Tengah dengan dukungan penuh Presiden”. Di bawahnya, terpampang peta lokasi proyek.
Informasi metadata berkas proposal itu menunjukkan bahwa penyusunnya adalah Wakil Direktur Utama Agrinas, Dirgayuza Setiawan.
Yetty Komalasari Dewi,Lektor Kepala di Fakultas Hukum Universitas Indonesia, mempertanyakan bagaimana bisa Agrinas mewakili Kementerian Pertahanan padahal statusnya adalah perusahaan swasta, yang berarti keuntungannya tidak otomatis mengalir ke kas negara.
“Kementerian Pertahanan kan bagian dari pemerintah. Kenapa dia tidak membuat BUMN?” katanya. “Mohon maaf, kalau saya lihat itu jadi bunuh diri.”
Ketika ditanya apa peran Agrinas dalam proyek food estate ini, dalam keterangan tertulisnya, Kementerian Pertahanan mengatakan bahwa mereka “belum pernah menunjuk perusahaan mitra untuk mengerjakan CLS,” merujuk pada Cadangan Logistik Strategis (CLS), program ketahanan pangan yang digagas Kementerian Pertahanan.
Sementara itu dalam keterangan tertulisnya Agrinas menjelaskan: “Hingga saat ini Agrinas belum pernah menjadi rekanan program Food Estate di Kementerian Pertahanan”.
Apapun bentuk hubungannya, kami menemukan bukti bahwa staf Agrinas merangkap kerja di proyek food estate milik Kementerian Pertahanan.
Salah satunya adalah Mahesa Mukhsin, yang bergabung dengan Agrinas begitu merampungkan pendidikan magister administrasi bisnis dari Universitas Oxford, Inggris. Mahesa merupakan Direktur Perencanaan Strategis dan Manajemen Risiko Agrinas sejak Januari 2020.Di profil LinkedIn-nya, dia menyebutkan pada saat yang sama dia menduduki posisi senior di Kementerian Pertahanan. Di profilnya tersebut Mahesa mengklaim berperan dalam “merencanakan, mengawasi, dan memimpin” proyek pengembangan perkebunan singkong pertama Kementerian Pertahanan.
Setelah kami mengajukan pertanyaan terkait hal ini ke Agrinas, profil LinkedIn Mahesa langsung berubah. Ia menghapus segala informasi yang berkaitan dengan Kementerian Pertahanan.
Rauf, Dirgayuza, Sugiono, dan Mahesa tidak menanggapi permintaan kami untuk wawancara. Mereka juga tidak memberikan komentar apa pun atas berbagai informasi yang kami temukan.
…
Keterlibatan militer dalam sektor swasta bukanlah hal baru.
Indonesia punya pengalaman selama tiga dasawarsa berada di bawah kediktatoran militer. Selama itu pula, banyak sekali perusahaan yang memberikan jatah saham kepada militer agar mendapat perlindungan, di mana para perwira “hanya duduk manis dapat uang,” kata Jacqui Baker, pakar politik di Universitas Murdoch, Australia.
Penelitian Human Right Watch (HRW) menemukan bahwa pada awal 2000-an, kepentingan militer merentang ke “berbagai sektor perekonomian,” dari perbankan hingga kursus golf. Satu cara yang dipakai untuk mengendalikan bisnisnya adalah dengan mendirikan yayasan-yayasan nirlaba. Cara ini memungkinkan mereka untuk menjalankan bisnisnya secara independen dari pemerintah, sembari tetap mendapat dukungan pembiayaan dari negara.
Pada 2006, seorang mantan panglima TNI menyampaikan kepada DPR bahwa meskipun yayasan-yayasan itu dipimpin oleh para purnawirawan jenderal, “bisa dikatakan… komando militerlah yang menguasai yayasan itu.”
Menurut Transparency International, praktik seperti itu dulu dibiarkan agar militer bisa membiayai dirinya sendiri. Namun nyatanya praktik seperti itu malah jadi ladang korupsi. Dari sinilah para perwira tinggi militer bisa mengontrol pembalakan liar dan menumpuk kekayaan yang didapatkan dari suap.
Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI mengamanatkan kepada pemerintah untuk mengambil alih atau menutup perusahaan-perusahaan yang dimiliki secara langsung maupun tidak langsung oleh TNI dalam jangka waktu lima tahun.
“Mengingat sejarah bisnis militer Indonesia,” kata Baker, struktur kepemilikan Agrinas “mengindikasikan tanda bahaya besar.”
Pertanyaan mengapa Agrinas diberikan – atau mengaku memiliki – peran kunci dalam proyek lumbung pangan kiranya sulit dijawab.
Di sekitaran waktu saat program lumbung pangan diumumkan, Agrinas mempublikasikan situs yang memuat visinya untuk “Menjadi perusahaan agribisnis, konservasi, dan bioenergi terintegrasi yang terdepan di kawasan Asia Pasifik.”
Namun, melihat rekam jejaknya di usia yang masih seumur jagung ini, terkesan bahwa Agrinas masih mencari-cari identitas. Dia mencitrakan diri sebagai lembaga konservasi yang menghasilkan dan menjual kredit karbon dengan mengurangi penggundulan hutan. Tapi pada saat yang sama, dia terlibat dalam proyek penggundulan hutan di Gunung Mas.
Di halaman Facebooknya, Agrinas memasarkan produk beras dan parsel mewah mereknya, selain menjual lobster beku di loka pasar daring Tokopedia.
Pada Juli 2020, seorang karyawan Agrinas menjajakan pala, merica, dan cengkeh—atas nama Agrinas—di sebuah bursa dagang Tiongkok.
Yang jelas, ambisi utama Agrinas adalah perkebunan singkong. Perusahaan ini sudah menanam singkong di lokasi pusat penelitiannya yang berada di pinggiran Jakarta, dan ingin mengembangkan perkebunan singkong serta pabrik pengolahan singkong di lima pulau, juga mempromosikan mi instan berbahan singkong mereknya.
Dalam artikel opini yang terbit di sebuah situs berita daring berbahasa Inggris pada Juli 2020, Direktur Pemasaran Agrinas Harryadin Mahardika menulis bahwa singkong “bisa menjadi primadona baru yang mendongkrak pertumbuhan ekonomi dari sektor agribisnis, sebagaimana terjadi pada industri sawit pada awal 1980-an.”
“Ada banyak keunggulan kompetitif yang dapat dieksplorasi untuk memperkuat program-program ketahanan pangan,” tambahnya.
“Kuncinya ada pada kerjasama semua pihak yang terlibat, di bawah satu komando, Prabowo Subianto.”
“Apa hubungannya dengan militer?”
Hingga Agustus 2021 lalu, Kementerian Pertahanan telah menyasar lebih banyak lahan untuk proyek lumbung pangan. Salah satu lokasinya di Papua, pulau di timur jauh Indonesia,kawasan yang dilimpahi sabana dan hutan hujan, rumah bagi makhluk-makhluk unik seperti kanguru pohon dan burung cenderawasih.
Setidaknya sejak September 2020, Muhaimin, seorang purnawirawan Angkatan Laut, telah berkeliling Papua untuk menemui pemerintah daerah. Ia bekerja di bawah perintah Prabowo-katanya—untuk mendapatkan lahan buat perkebunan baru.
Di Nabire, sebuah kabupaten di wilayah pesisir barat laut Papua, Muhaimin bilang bahwa pembukaan lahan akan dikerjakan oleh TNI. Setelah itu akan diserahkan kepada Agrinas untuk penanaman.
“[Ini] adalah kerjasama antara Pemda dan Kementerian Pertahanan, yang dalam hal ini PT Agrinas,” katanya.
Di Asmat, sebuah kabupaten dengan hamparan lahan gambut di sisi selatan Papua, Muhaimin memaparkan kepada para pejabat daerah bahwa para pemuda Papua akan direkrut menjadi anggota Komponen Cadangan atau “Komcad”, pasukan cadangan yang baru dibentuk dan terdiri dari warga sipil. Para pemuda dalam Komcad itu akan dipekerjakan di perkebunan singkong dan padi Kementerian Pertahanan.
Dalam sebuah pertemuan daring melalui Zoom dengan para pejabat militer dan pemerintah daerah pada 12 Agustus lalu, Muhaimin mengungkapkan hasil KLHS yang telah dilaksanakan untuk dua perkebunan padi dan singkong di Merauke.
Meski Papua memiliki keanekaragaman tanaman yang lebih kaya dibandingkan pulau manapun di planet Bumi, hasil KLHS itu tetap saja merekomendasikan pembongkaran lebih dari 18.000 hektare hutan hujan.
Hasil KLHS itu pun mengemuka dengan sejumlah peringatan bahaya. Proyek lumbung pangan di Papua bisa mengakibatkan pencemaran sungai dan sengketa pertanahan. Apalagi, sekitar 15.000 hektar lahan yang diincar merupakan tanah ulayat.
Berdasarkan catatan pertemuan yang kami peroleh, Muhaimin menjelaskan kepada para hadirin bahwa para pihak yang mendukung proyek belum menemui warga setempat yang bakal terdampak karena terkendala pandemi. Warga juga tidak diundang dalam pertemuan daring itu.
Kini, setelah syarat KLHS sudah dirampungkan, keputusan untuk mengalihfungsikan kawasan hutan sepenuhnya ada di tangan KLHK.
Muhaimin mengatakan kepada kami bahwa Agrinas akan dilibatkan “andaikan nanti [proyek food estate] jalan”. Ia menolak menjelaskan lebih rinci.
Bagi para aktivis lokal di Papua, pengerahan tentara ke wilayah adat Papua untuk membangun perkebunan punya preseden buruk.
Selama puluhan tahun, intervensi militer di Papua sangat tinggi, dengan dalih memberangus gerakan Papua merdeka. Padahal tentara dan polisi juga dikerahkan untuk memberangus perlawanan rakyat terhadap proyek-proyek korporasi yang mengancam tanah ulayat dan hutan mereka.
“Ada sejumlah kasus kekerasan terhadap orang asli Papua yang dilakukan oleh militer,” kata Aiesh Rumbekwan, aktivis Walhi Papua. “Ada rasa trauma yang panjang”.
Para pengamat telah mendokumentasikan tumpukan kasus pelanggaran HAM yang dilakukan oleh militer terhadap orang asli Papua, termasuk penculikan, penyiksaan, dan pembunuhan di luar jalur hukum.
Sepanjang periode 2018-2020, Amnesty International mencatat sebanyak 47 kasus dugaan pembunuhan ekstrayudisial, pembunuhan di luar hukum yang dilakukan atas perintah pemerintah oleh aparat keamanan di Papua.
“Biasanya dalam perolehan lahan, kalau misalnya militer yang turun dalam kasus-kasus dengan perusahaan, ya masyarakat nggak bisa bilang apa-apa,” kata Franky Samperante, Direktur Yayasan Pusaka Bentala Rakyat, yang banyak bekerja dengan masyarakat Papua untuk memperjuangkan hak-hak mereka.
“Nggak bisa ngomong.”
Sebagai dampak dari upaya keras pemerintah mendorong pengembangan industri agrikultur di Papua, sejumlah perusahaan gula, minyak kelapa sawit, dan pembalakan kayu, kini mulai marak bercokol di Papua.
Pemerintah beralasan, proyek-proyek perkebunan itu diperlukan sebagai sarana untuk meningkatkan perekonomian daerah yang tingkat pendidikan dan infrastrukturnya masih rendah.Tetapi penelitian menunjukkan bahwa pengembangan perkebunan berskala besar itu justru bisa berdampak buruk bagi masyarakat sekitar.
Akademisi, organisasi non pemerintah, dan investigasi terdahulu oleh The Gecko Project menemukan bahwa perkebunan-perkebunan itu malah menggerus ketahanan pangan orang Papua karena menghancurkan hutan hujan dan kampung-kampung sagu yang menjadi sumber penghidupan mereka.
Masyarakat di sekitar perkebunan menjadi sangat bergantung pada bantuan dari perusahaan dan pemerintah. Mereka juga terpaksa mengkonsumsi asupan makanan yang rendah gizi.
Proyek lumbung pangan telah merongrong berbagai aspek perlindungan lingkungan yang sebelumnya dijadikan pedoman. Hal itu diperburuk dengan keterlibatan langsung militer dalam pengelolaan perkebunan.
Bagi Aeish dari Walhi Papua, semua ini justru akan memperparah persoalan.
“Ini cuma perampasan ruang berkedok ketahanan pangan,” katanya. “Sebenarnya food estate kita bicara pertanian. Apa hubungannya [dengan militer]?” (*)