Manokwari, Jubi TV– Ketua Komnas HAM Perwakilan Papua, Frits Ramandey, menyatakan keprihatinannya terhadap pemerintah yang belum merealisasikan janji pemulihan kepada korban pelanggaran HAM berat di Wasior, Kabupaten Teluk Wondama, Provinsi Papua Barat.
Hingga kini, negara belum memenuhi komitmen tersebut, meski telah ada keputusan presiden dan pembentukan Tim Pemulihan Hak Asasi Manusia (PPHAM).
Ramandey mengungkapkan hal ini dalam diskusi dengan jurnalis di Manokwari, Papua Barat, pada Senin (28/10/2024).
“Sebanyak 309 korban pelanggaran HAM berat di Wasior telah diakui melalui keputusan presiden. Tim PPHAM sudah dibentuk, tetapi hingga kini hak mereka belum dipenuhi,” ujar Ramandey.
Ia menambahkan bahwa para korban telah menyediakan data dan informasi terkait status mereka.
“Di provinsi lain, korban pelanggaran HAM sudah mendapatkan hak mereka. Namun, korban di Wasior belum,” katanya, mendesak agar tim PPHAM serius dalam menjalankan tugas mereka.
Menurut Ramandey, Komnas HAM terus memastikan agar negara memenuhi hak korban. Ia menyebutkan bahwa dirinya telah berkomunikasi dengan Sekretaris Daerah Teluk Wondama untuk membahas hal ini.
“Ini bukan hanya tentang aturan, tetapi hak yang perlu segera direalisasikan. Para korban hanya menginginkan anak-anak mereka bersekolah, memiliki tempat tinggal, dan akses usaha ekonomi,” tegasnya.
Sekretaris Dewan Adat Teluk Wondama, Wiliam Torey, menekankan pentingnya realisasi janji pemulihan yang pernah disampaikan oleh Presiden Joko Widodo dalam deklarasi di Aceh. Ia berharap agar janji tersebut tidak hanya menjadi wacana. “Kami berharap ada langkah konkret untuk memberikan kejelasan bagi para korban. Pernyataan Jokowi di Aceh memberikan harapan bagi masyarakat adat, namun kami masih menunggu realisasinya,” ujar Torey.
Tragedi Wasior berdarah pada tahun 2001 meninggalkan luka mendalam bagi para korban dan keluarga mereka. Insiden ini bermula dari konflik antara masyarakat lokal dan perusahaan kayu terkait hak-hak masyarakat atas sumber daya alam. Ketika situasi memanas, perusahaan memanggil aparat keamanan untuk melakukan penindakan. Bentrokan ini mengakibatkan tindakan represif berupa penyiksaan dan penghilangan paksa warga sipil.
Hingga saat ini, para korban dan keluarga korban terus menanti keadilan dan pemulihan atas peristiwa tersebut. (*)
Artikel ini sudah terbit di Jubi.id