Jayapura, Jubi TV– Kantor Perwakilan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia atau Komnas HAM Papua menyatakan perlu ada pembatasan aktivitas maupun mobilitas warga sipil non Papua di daerah rawan konflik bersenjata. Menurut Komnas HAM Papua, pembatasan itu juga harus diberlakukan kepada warga negara asing.
Kepala Kantor Komnas HAM Perwakilan Papua, Frits Ramandey mengatakan warga non Papua maupun warga negara asing yang berada atau memasuki daerah rawan konflik bersenjata rentan menjadi sasaran kekerasan hingga pembunuhan.
Menurut Ramandey, pemerintah harus mempertimbangkan kemungkinan pembatasan aktivitas warga sipil non Papua dan warga negara asing di wilayah rawan konflik bersenjata.
“Pembatasan aktivitas itu perlu. Tidak semua pembatasan itu melanggar HAM. [Pemerintah dapat memberlakukan] pembatasan untuk kepentingan HAM, kepentingan hukum, kepentingan keamanan dan ketertiban masyarakat, itu boleh,” ujar Ramandey.
Ramandey mengatakan pembatasan aktivitas itu perlu diberlakukan di Kabupaten Yahukimo, Kabupaten Nduga, Kabupaten Intan Jaya, Kabupaten Puncak, Kabupaten Paniai, Kabupaten Mimika, Kabupaten Dogiyai, Kabupaten Pegunungan Bintang hingga Kabupaten Maybrat. Ramandey mengatakan pembatasan aktivitas dapat berupa penerapan batas radius mobilitas warga non Papua dan warga negara asing.
“Warga pendatang yang mencari [kerja] di wilayah-wilayah [rawan] konflik, misalnya aktivitas ojek, buka warung/kios-kios, [dapat dibatasi]. Kalau warung dan kios-kios [misalnya], harus tahu jam sekian tutup. Ojek-ojek jam sekian hanya bisa jalan lewat sini. Begitu-begitu yang harus diatur,” katanya.
Ramandey mengatakan pihaknya telah meminta pemerintah pusat maupun daerah untuk menerapkan pembatasan itu. Akan tetapi, hingga kini belum ada penerapan pembatasan aktivitas itu.
Ramandey menilai pemerintah belum serius memberi perlindungan bagi warga sipil di daerah rawan konflik bersenjata. “Perlindungan itu bukan soal mengawal secara terus-menerus, tapi bagaimana perlindungan untuk memberi tahu kepada [warga non Papua] bahwa zona-zona [wilayah rawan konflik] ini anda tidak boleh didatangi. Pemerintah bisa memberi larangan itu demi keselamatan mereka dalam kurung waktu tertentu, sampai [suatu] wilayah itu dinyatakan aman,” katanya.
Hati-hati dan kaji dulu
Ide pembatasan aktivitas warga yang diwacanakan Komnas HAM Papua itu tidak serta merta meraih dukungan. Peneliti Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Prof Cahyo Pamungkas mengatakan penerapan pembatasan seperti itu harus didahului kajian yang matang. Kajian itu penting agar penerapan kebijakan pembatasan aktivitas itu bisa berjalan dengan baik.
“Di mana-mana, yang namanya pembatasan pasti bermasalah. Sudah banyak orang-orang [non Papua] yang ada di lokasi konflik. Sekarang, tanpa ada pembatasan pun, sudah terbatas sebetulnya. [Maka usulan seperti itu] harus dikaji lebih dulu. Komnas HAM perlu mengkaji dulu bagaimana [pembatasan] bisa dilakukannya, efektif atau tidak. [Pembatasan aktivitas warga] pasti akan membuat masalah, apa lagi [menjelang] Pilkada,” ujar Cahyo pada Kamis (12/9/2024).
Cahyo mengatakan pembatasan aktivitas itu hanya dapat diberlakukan jika pemerintah pusat menetapkan daerah konflik yang ada di Tanah Papua. Cahyo mengatakan penetapan sebuah wilayah sebagai daerah konflik harus dituangkan dalam Keputusan Presiden maupun Peraturan Presiden. Hingga kini, pemerintah pusat belum pernah menyatakan wilayah di Tanah Papua sebagai daerah konflik.
“Pembatasan itu dapat dilakukan kalau dasar hukumnya jelas. Sampai sekarang kan tidak jelas [dasar hukum]. Ini [Papua] sebetulnya statusnya seperti apa? Dasar hukum yang sekarang kan cuma operasi penegakan hukum terhadap kelompok kriminal. Tapi kan sebetulnya itu sudah konflik [bersenjata],” ujarnya.
Dosen Sekolah Tinggi Filsafat (STF) Driyarkara Jakarta, Budi Hernawan PhD mengkritik wacana itu mengesankan upaya untuk memisahkan bentuk perlindungan warga sipil non Papua dan warga sipil Papua. Budi mengatakan bahwa setiap warga sipil, apapun latar belakang etnisnya, harus mendapatkan perlindungan dari dampak konflik bersenjata di Tanah Papua.
Budi juga menegaskan perlindungan juga perlu dilakukan terhadap objek sipil. “Tidak perlu memisah-misahkan [warga] sipil non-Papua, [warga sipil] Papua, warga negara asing. Semua itu terdampak. Selama 50 tahun lebih, mayoritas [orang] yang [paling] terdampak adalah orang Papua, bukan warga non-Papua. Semua manusia harus dilindungi, baik yang pelaku, pihak yang bertikai, warga sipil, maupun objek sipil,” kata Budi saat dihubungi melalui panggilan telepon pada Kamis.
Budi mengatakan Komnas HAM memiliki mandat memajukan dan perlindungan HAM. “Komnas HAM melindungi warga negara Indonesia terhadap negara atau perilaku [aparatur] negara. Dalam mandat itu tidak disebutkan apakah [yang dilindungi itu] pendatang atau [orang] Papua. Tidak ada hak asasi manusia pendatang, hak asasi manusia Papua, dan hak asasi manusia warga negara asing. [Yang ada] Hak Asasi Manusia, titik,” ujar Budi. (*)
Artikel ini sudah terbit di Jubi.id