Jayapura, Jubi – Komite Nasional Papua Barat atau KNPB kembali menyeru pemerintah Indonesia untuk berhenti mengirimkan pasukan militer ke Tanah Papua dan berbagai penerbitan izin investasi di Tanah Papua. KNPB menantang Indonesia membuktikan keberadaannya sebagai negara demokratis dengan menggelar referendum Hak Penentuan Nasib Sendiri bagi rakyat Papua.
Ketua Umum KNPB, Agus Kosay menyatakan pendekatan keamanan yang digunakan Indonesia menyelesaikan masalah Papua telah meluaskan konflik bersenjata di Tanah Papua. Pendekatan keamanan itu juga menimbulkan berbagai kasus pelanggaran Hak Asasi Manusia baru di Tanah Papua.
“Penambahan pasukan ini justru menambah konflik berkepanjangan di Papua. Papua tidak membutuhkan kekuatan militer. Papua butuh penegakan kebenaran, keadilan, dan kedamaian,”kata Kosay saat ditemui Jubi di Kota Jayapura, Papua, Selasa (15/2/2022).
Kosay mengkritik pendekatan keamanan yang menimbulkan berbagai kasus kekerasan dan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) baru di Tanah Papua. Ia menyatakan orang di Tanah Papua hanya berjuang demi kebenaran dan harkat kemanusiaannya.
Kosay juga mengkritik pemerintah Indonesia yang selalu berpandangan bahwa persoalan konflik Papua disebabkan ketertinggalan pembangunan dan kesejahteraan. “Kami rakyat West Papua berjuang untuk menegakkan nilai manusia di Papua yang sedang diinjak-injak oleh kolonial Indonesia,” katanya.
Kosay juga mengecam pemerintah Indonesia yang terus membuka pintu investasi di Tanah Papua. Ia menyatakan investasi telah mengancam kelangsungan hidup masyarakat adat di Tanah Papua. Kosay mencontohkan dampak investasi tambang PT Freeport Indonesia pasca penandatanganan Kontrak Karya antara Indonesia dan Freeport McMoRan pada 1967.
“Masyarakat [adat] Papua selalu disingkirkan. Seperti yang bisa kita lihat hari ini [nasib] Suku Amungme [dan] Kamoro di Timika. Saya dapat menyimpulkan bahwa semua investasi di Papua adalah musuh yang sesungguhnya, yang membunuh orang Papua,” katanya.
Kosay mengatakan kepentingan investasi telah menimbulkan banyak korban kekerasan, baik dari kalangan warga sipil, aparat TNI/Polri, maupun orang asing. Hal itu yang membuat KNPB menuntut Indonesia menutup pintu investasi di Tanah Papua.
“Aparat kolonial Indonesia adalah korban kepentingan investasi di Papua. Sudah cukup dulu orang tua kami yang ditipu. Sekarang Indonesia jangan menipu rakyat dengan tawaran rupiah merah yang tidak ada nilai sama sekali,” katanya.
Kosay menyerukan agar pemerintah Indonesia membuktikan keberadaan Indonesia sebagai negara demokratis dengan memenuhi tuntutan menggelar referendum Hak Penentuan Nasib Sendiri di Tanah Papua. Menurutnya, referendum itu akan menentukankan apakah rakyat Papua memilih tetap menjadi bagian dari Indonesia, atau memilih berpisah dari Indonesia.
“Untuk menentukan nasib orang Papua yang sedikit lagi punah ini, kami pikir referendum satu solusi yang tepat dalam mengambil jalan tengah di Tanah Papua,” katanya.
Kosay menyatakan KNPB menuntut referendum itu haruslah diselenggarakan oleh pihak ketiga yang netral. “Agar supaya tidak ada kecemburuan dari orang Papua dan orang Jakarta. Indonesia juga mendapatkan dampak positif [dari penyelenggaraan referendum itu], Papua pun demikian,” katanya.
Kepala Pemerintahan Adat Wilayah III Doberay, Samuel Awom mengatakan bahwa Papua selalu menjadi incaran berbagai kepentingan elit di Jakarta. “Mereka tidak akan pernah dengar jeritan rakyat korban penembakan di Intan Jaya, Ndugama, Maybrat, Pegunungan Bintang, Puncak, Yahukimo, juga hampir 60 ribu pengungsi yang ada di Tanah Papua” katanya.
Juru Bicara Gerakan Mahasiswa, Pemuda Rakyat Papua (Gempa) versi Kongres Luar Biasa (KLB), Samuel Womsiwor mengatakan saat ini ada ribuan perusahaan yang beroperasi di Tanah Papua. “Dampaknya, penyingkiran orang orang asli setempat atau masyarakat adat, militerisme, dan pelanggaran HAM berat bagi orang Papua pemilik hak ulayat,” katanya.
Womsiwor meminta Presiden Joko Widodo mentutup pintu investasi asing di Papua. Ia mengkritik berbagai izin dan konsesi bagi investor yang tumpang tindih, namun izin investasi baru terus diterbitkan. “Sehingga terjadi perampasan tanah adat besar-besaran di Tanah Papua. Kami mau mengatakan kepada pemerintah, sebelum pemerintah ada kami sudah terlebih dahulu ada di Tanah Papua. Apapun kebijakan yang bertentangan dengan [kepentingan] masyarakat adat akan tetap kami lawan,” katanya. (*)
Editor: Aryo Wisanggeni G