Jubi TV– Para perempuan di Papua menginisiasi gerakan untuk mengatasi kerusakan hutan mangrove. Mereka adalah Petronela Merauje dari Kampung Enggros, Ezterlin Baransano dari Komunitas Rumah Bakau Jayapura, dan Yulika Anastasia dari Komunitas Imaji Papua.
Tiga perempuan ini berbagi cerita seputar aktivitasnya menjaga hutan mangrove pada webinar bertajuk “Mangrove di Tanah Papua: Siapa yang jaga?” yang diselenggarakan oleh Teras Mitra bersama EcoNusa, Sabtu, 19 Februari 2022.
Merauje merupakan perempuan dari Enggros yang kesehariannya menjaga hutan perempuan Tonotwiyat di Teluk Youtefa, Kota Jayapura, Papua. Bersama 15 mama dari Kampung Enggros, Meraudje berusaha mengembalikan tegakan mangrove dengan menanam kembali di sepanjang Jembatan Merah, dengan harapan perlahan-lahan bisa menggantikan hutan mangrove yang telah rusak, khususnya hutan perempuan.
Perempuan Enggros biasanya tanpa busana mencari bia atau kerang di hutan perempuan. Namun pembangunan jembatan merah dan area dayung PON XX telah mempersempit ruang gerak mereka untuk mencari nafkah. Mereka tidak bisa mencari kerang lagi tanpa busana di hutan perempuan, sebab hutan itu sudah terbuka dan orang bisa langsung melihat dari jalan raya ke dalam hutan mangrove.
“Tidak sadar bahwa adat kami sedang dikikis juga. Apalah daya kami, masyarakat hanya bisa diam dan menangis melihat keadaan yang terjadi,” ujarnya.
Perempuan 41 tahun tersebut khawatir bahwa semakin gencarnya pembangunan justru mengorbankan kawasan hutan mangrove. Ini juga membuat kampung mereka tenggelam karena terkikis abrasi pantai.
Bersama mama-mama di Kampung Enggros, Meraudje mencari mencari dan menanam bibit mangrove. Kegiatan ini hanya dapat dilakukan oleh mereka yang memang betul-betul terpanggil atau memiliki rasa memiliki untuk menjaga hutan mangrove.
Penanaman mangrove pun hanya dapat dilakukan di sepanjang jalan Jembatan Merah. Mereka sudah tidak bisa menanam dari belakang kampung, sebab banyak sampah yang tertampung di hutan mangrove.
“Bibit mangrove kalau kami tanam kembali dari sebelah belakang kampung itu susah karena di dalam situ sudah banyak sampah. Sampah masuk ke dalam akar-akar hutan bakau dan susah untuk keluar. Kami harus menanamnya di depan yang sudah di tebang pemerintah untuk pembangunan jembatan,” katanya.
Selain menanam kembali mangrove, mama-mama ini juga membersihkan sampah.
Mama Merauje bercerita ketika memancing mereka malah mendapatkan sampah yang tersangkut di kail. Sampah dari Pasar Youtefa bermuara di Teluk Youtefa. Semua sampah itu tertampung di hutan mangrove.
Kini mereka membutuhkan bantuan perahu besar, seperti speedboat untuk mengangkut sampah, sebab sampan terlalu kecil untuk mengangkut banyak sampah di hutan mangrove.
Ezterlin Baransano bersama Komunitas Rumah Bakau Jayapura melibatkan berbagai komunitas di Jayapura untuk menyelamatkan hutan mangrove di Kota Jayapura, khususnya Teluk Youtefa. Komunitas Rumah Bakau Jayapura merupakan wadah berhimpun berbagai komunitas peduli lingkungan.
“Ada komunitas motor, komunitas drone, bahkan ada juga komunitas pencinta hewan. Di sini kita berkumpul bersama melakukan kolaborasi bersama melakukan iven-iven tentang lingkungan,” katanya.
Bersama berbagai komunitas di Kota Jayapura Baransano rutin melakukan kegiatan untuk menjaga lingkungan, seperti menanam mangrove, mengangkat sampah di hutan mangrove, akhir tahun tanpa racun, merawat yang tersisa, gelar kandang dan aksi muda jaga iklim.
“Kami lakukan street campaign, kami memegang papan bertuliskan pesan-pesan menjaga iklim,” ujarnya.
Baransano berpesan pemerintah tidak mengabaikan hutan mangrove, sebab hutan mangrove berfungsi menjaga abrasi pantai. Hutan mangrove juga menyimpan banyak sekali kekayaan, yang dapat dimanfaatkan masyarakat adat sekitar Teluk Youtefa.
Lain halnya dengan Yulika Anastasia. Dia melakukan pendekatan untuk menjaga hutan mangrove melalui film dokumenter.
Yulika bersama delapan anggotanya dari Komunitas Imaji Papua berusaha menyadarkan masyarakat tentang isu lingkungan, khususnya hutan mangrove dengan membuat film dokumenter.
Salah satu film dokumenter yang dibuat Anastasia bersama komunitasnya tentang hutan perempuan di Teluk Youtefa adalah Tonotwiyat. Film yang digarapnya berawal dari sebuah keresahan tentang keberadan hutan mangrove yang semakin terkikis.
“Hutan mangrove yang ada di sepanjang Teluk Youtefa itu adalah benteng terakhir di Kota Jayapura untuk menahan abrasi pantai,” ujarnya.
Yulika mulai meriset dan mendalami hutan perempuan pada 2018. Dalam proses itu mereka melihat adanya hubungan hutan mangrove dengan masyarakat adat setempat. Penghormatan terhadap tradisi yang dijaga secara turun-temurun itu mulai terkikis dengan kepentingan pembangunan.
Melalui film dokumenter Komunitas Imaji Papua ingin mengangkat sebuah wacana bahwa isu lingkungan itu tidak berdiri sendiri sebagai sebuah isu lingkungan, tetapi ada isu lain yang sangat melekat erat bahwa di sana ada adat istiadat yang harus dijaga
“Film hutan Papua yang kami kerjakan bersuara tentang itu. Kita semua harus punya kepedulian terhadap hutan mangrove sehingga dalam sebuah pembangunan harus ada hal lain yang lain bisa dipertimbangkan. Bahwa hutan perempuan itu sudah ada di tahap kritis dan membutuhkan solusi dan sebuah langkah konkrit bersama,” katanya. (*)