Jayapura, Jubi TV – Sigit tak menyangka bercak putih yang muncul pada 2020 di area belakang tubuhnya itu berdampak besar terhadap dirinya. Bercak itu hari ke hari semakin banyak memenuhi belakang tubuhnya dan muncul juga di area wajah. Pemuda asal Ambon itu menyangka dirinya diguna-guna oleh orang lain. Tak ada terbesit sekalipun dia terinfeksi kusta.
“Muncul pertama saya pikir orang bikin,” ujar pria yang berusia 26 tahun ini. Ia divonis terkena penyakit kusta lalu dianjurkan untuk mengikuti program obat selama empat bulan sejak September 2021 hingga Januari 2022.
Lulusan Teknik Elektro Universitas Cenderawasih ini rutin mengikuti program obat kusta. Belakang ternyata obat yang dikonsumsinya memiliki efek samping. Obat yang dikonsumsi Sigit adalah Dapsone yang merupakan salah satu obat kusta.
Bercak di tubuhnya memang menghilang akan tetapi efek obat membuat wajah Sigit menghitam. Sigit yang dulu selalu suka jalan-jalan, main futsal, berenang di pantai maupun di kolam renang tak dilakukan lagi seperti biasanya. Akibat wajahnya menghitam ia kehilangan kepercayaan diri dan membatasi aktivitas di luar rumah.
“Saya mulai merasa minder dan kurang percaya diri lalu memutuskan mengurangi aktivitas di luar rumah,” ujarnya.
Sigit bahkan tidak lagi mengikuti ibadah minggu dan hanya bisa mengikuti secara daring. Agar tidak jenuh dan bosan ia menghabiskan waktu di rumah dengan bermain game dan mendengarkan musik.
Akan tetapi perlahan tapi pasti berkat dukungan keluarga serta teman-teman Sigit kembali memupukan rasa percaya dirinya. Sambil rutin mengkonsumsi obat, kini kondisinya secara perlahan kembali membaik. Wajah yang dulu sempat menghitam telah kembali sedia kala.
Tak berbeda dengan Sigit, Henry, 21 tahun juga pernah kehilangan kepercayaan diri ketika di vonis menderita penyakit kusta. Awal 2019 bintik-bintik putih timbul di sekujur tubuhnya. Ia menganggap itu merupakan panu atau kurap biasa. Sehingga ia tak melakukan pemeriksaan ke Puskesmas.
Henry kemudian berangkat sekolah di Yogyakarta. Pada 2020 kembali ke Jayapura, ia langsung di bawah orangtuanya periksa ke Puskesmas. Dokter lalu meresepkan obat untuk diminum selama 3 hari. Setelah menghabiskan obat, ia kembali ke Puskesmas, dan di vonis menderita kusta.
“Sempat kaget saya tapi saya belum tahu itu penyakit (kusta). Saya buka internet dan lihat gambar langsung takut,” ujarnya.
Mahasiswa Universitas Kristen Imanuel Yogyakarta ini kemudian mengikuti program obat selama setahun penuh. Dari situ ia kehilangan kepercayaan diri.
“Saya rasa takut dan malu, apalagi tong ini anak muda,” katanya.
Ia lalu tekun mengikuti program obat dan menjalani perawatan di rumah sakit. Setelah keluar dari rumah sakit Henry perlahan belajar menerima keadaan dan melawan rasa takut dan malu.
“Saya mulai belajar bangkit lagi dan menjadi lebih percaya diri,” ujarnya.
Gereja menjadi tempat yang sering Henry kunjungi untuk bersyukur dan berterima kasih kepada Tuhan. Ia bersyukur masih diberikan kesempatan untuk menjalani hidup hingga saat ini. Kini ia sudah mulai pulih dan telah beraktivitas.
“Saya percaya bahwa setiap masalah pasti ada jalan keluarnya,” katanya.
Kepala Balai Penelitian dan Pengembangan Kesehatan (Balitbangkes) Papua, dr. Antonius Oktavian mengatakan penyakit kusta adalah penyakit yang terabaikan dan termasuk tinggi penderita kusta di Papua.
“Kalau di Kota Jayapura paling banyak di Hamadi,” ujarnya.
Ia menyampaikan pola hidup setiap individu yang tidak bersih serta sanitasi yang buruk merupakan faktor timbulnya penyakit ini. Namun, Antonius menurut penyakit kusta dapat diobati hingga sembuh dengan rutin mengonsumsi obat.
“Kusta bisa diobati dan bisa sembuh asal jangan terlambat supaya tidak timbul kecacatan,” katanya.
Antonius mengatakan dukungan keluarga sangat dibutuhkan bagi para penderita kusta agar kembali percaya diri. Stigma terhadap mereka harus dihilangkan dan yang terpenting adalah menyembuhkan penyakitnya.
“Penyakitnya harus kita hilangkan tapi jangan jauhi penderitanya,” ujarnya. (*)