Merauke, Jubi TV– Pemerintah melalui Kementerian Kesehatan menetapkan status kejadian luar biasa (KLB) polio di Provinsi Papua Selatan, menyusul ditemukannya satu kasus polio pada anak perempuan berusia 11 tahun di Kabupaten Asmat pada April 2024 lalu.
Selain Papua Selatan, dua daerah otonomi baru di Tanah Papua, yakni Provinsi Papua Tengah dan Papua Pegunungan juga ditetapkan dalam status KLB polio. Di Mimika, Papua Tengah, dilaporkan ada tujuh kasus positif. Sementara di Nduga, Papua Pegunungan, terkonfirmasi satu kasus.
Pemerintah menyikapi penetapan KLB ini dengan melakukan outbreak response immunization (ORI), yaitu pemberian imunisasi polio massal kepada seluruh kelompok rentan. Kegiatan sub pekan imunisasi nasional (Sub PIN) tahap pertama berlangsung di tiga provinsi di Tanah Papua, termasuk Papua Selatan pada 27 Mei 2024.
PIN polio di Papua Selatan – yang mencakup Kabupaten Merauke, Asmat, Boven Digoel dan Mappi, menyasar sejumlah 119.922 anak usia 0 hingga 7 tahun. Langkah pencegahan penularan penyakit lumpuh layu di daerah otonomi baru itu bakal dilaksanakan selama empat bulan ke depan.
Kepala Dinas Kesehatan Papua Selatan, dr Benedicta Herlina Rahangiar menyatakan bahwa pekan imunisasi nasional polio di sana sebagai upaya untuk memutuskan mata rantai penularan polio, mengingat pemerintah telah menetapkan status kejadian luar biasa penyakit tersebut di Tanah Papua, termasuk Provinsi Papua Selatan.
“Polio merupakan penyakit infeksi yang sangat menular. Dengan adanya kejadian di Kabupaten Asmat dan beberapa kabupaten lain di Papua, ditetapkanlah status KLB di Tanah Papua. Pencanangan polio di Provinsi Papua Selatan adalah salah satu tindakan imunisasi yang harus dilakukan terhadap anak-anak usia nol sampai tujuh tahun,” kata Herlina Rahangiar saat kegiatan pencanangan PIN Polio Provinsi Papua Selatan di Merauke, Senin (27/5/2024).
Dia mengatakan pemberian vaksin polio kepada anak-anak usia 0 – 7 tahun di empat kabupaten di Provinsi Papua Selatan dilakukan secara serentak. Sasaran imunisasi di Kabupaten Merauke sejumlah 44.956 jiwa, Boven Digoel 16.060 jiwa, Mappi 25.760 jiwa, dan Asmat sejumlah 33.146 jiwa.
“Sasaran imunisasi yang kami gunakan dalam PIN Polio di Papua Selatan adalah sasaran dari Pusda Tim tahun 2024. Di mana pelaksanaannya (imunisasi) dalam dua tahapan dan empat putaran dengan vaksin nOPV 2 dan bOPV sesuai jadwal putaran yang telah ditetapkan. Target capaian imunisasi polio adalah 95 persen dari sasaran yang ada,” sebutnya.
“Saat ini vaksin diberikan kepada 100 anak di Merauke. Selanjutnya pelaksanaan PIN akan dilakukan di setiap fasilitas kesehatan (Puskemas, Pustu, Posyandu) yang telah diatur oleh kabupaten masing-masing,” tutup Herlina Rahangiar.
Cakupan imunisasi di Indonesia tidak merata dan target belum maksimal
Direktur Pengelolaan Imunisasi Kementerian Kesehatan, dr. Prima Yosephine Berliana Yumiur Hutapea saat menghadiri pencanangan PIN Polio Provinsi Papua Selatan di Kabupaten Merauke, menyatakan bahwa Indonesia tergolong negara yang berisiko tinggi terpapar polio. Hal itu dikarenakan cakupan imunisasi polio yang tidak merata dan targetnya belum maksimal.
“Karena capaian cakupan imunisasi rutin kita khususnya untuk polio yang tidak mencapai target tinggi merata, maka sesuai analisa dan berdasarkan capaian kinerja surveilansnya, Indonesia masuk sebagai negara yang berisiko tinggi untuk terpapar polio. Ini dibuktikan dengan terus menerusnya kita mengalami KLB polio mulai dari tahun 2022,” Prima Hutapea.
Kejadian luar biasa polio di Indonesia pada 2022 lalu dimulai dari Provinsi Aceh, kemudian disusul Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur. Selanjutnya di tahun ini, ditemukan kasus polio di Provinsi Papua Tengah, Papua Pegunungan dan Papua Selatan.
Kasus lumpuh layu atau acute flaccid paralysis (AFP) di Tanah Papua sendiri pertama dilaporkan dari Mimika, Papua Tengah. Hasil pemeriksaan laboratorium, seorang anak berusia 9 tahun 10 bulan dinyatakan positif polio tipe satu atau P1.
“Kami bekerja sama dengan Dinkes Papua Tengah melakukan perluasan surveilans untuk mengambil spesimen pada anak-anak sehat di sekitarnya (penderita). Apakah virus ini sudah beredar di situ? Hasil pemeriksaan dari 45 anak sehat, ternyata ada 8 anak sehat di sana yang terkonfirmasi mengandung polio tipe dua (P2),” kata dia.
“Lalu tidak berselang lama, dilaporkan lagi kasus AFP positif pada anak umur 6 tahun 7 bulan di Kabupaten Nduga, Papua Pegunungan, dan dilaporkan juga satu kasus pada anak umur 11 tahun dari Kabupaten Asmat, Papua Selatan yang terkonfirmasi virus P2,” sambungnya.
Dengan ditetapkannya KLB, Prima Hutapea menambahkan bahwa pemerintah memutuskan kegiatan imunisasi polio harus diselenggarakan total di seluruh Indonesia, tapi dikurangi dengan provinsi-provinsi yang sudah melaksanakan vaksinasi ketika terjadi kejadian luar biasa. Terdapat 33 provinsi yang melaksanakan PIN di 2024.
Dalam skema PIN, ada dua tahap pelaksanaan imunisasi. Tahap pertama dilakukan di enam provinsi di Tanah Papua, yakni Papua Barat Daya, Papua Tengah, Papua Pegunungan, Papua, Papua Selatan dan Papua Barat. Sisanya, 27 provinsi akan dilaksanakan pada Juni 2024.
“Perlu diingat bahwa untuk Tanah Papua, karena ada dua tipe kasus polio, yakni P1 dan P2, maka pelaksanaan PIN untuk Papua akan dilakukan dengan menggunakan dua jenis vaksin secara bertahap. Untuk P2 kita pakai nOPV2, dan selanjutnya nanti dengan bOPV,” tutupnya.
Sementara Penjabat Sekretaris Daerah Provinsi Papua Selatan, Madderemmeng menyatakan penyakit polio sangat berbahaya dan belum ada obatnya. Polio itu adalah kondisi di mana terjadi kelumpuhan total pada individu, dan anak-anak sangat rentan terserang penyakit ini. Penyakit polio berkaitan erat dengan kondisi lingkungan, pola hidup dan sebagainya.
“Seperti yang kita ketahui bahwa polio itu penyakit yang sangat menular, sangat berbahaya, terus akibatnya itu bisa menimbulkan kelumpuhan dan itu tidak ada obatnya. Dan ini menyerang anak-anak di usia 0 sampai 7 tahun. Karenanya kita harus tangani bersama-sama,” kata Madderemmeng.
Madderemmeng menambahkan Indonesia telah menerima sertifikat bebas polio pada 2014 lalu. Sehingga muncul pertanyaan kenapa penyakit itu bisa terjadi lagi dengan status kejadian luar biasa? Menurutnya ada persoalan-persoalan mendasar dalam pengelolaan kesehatan, termasuk dengan vaksinasi yang tidak disiplin.
“Setahu saya, kalau kita disiplin untuk melakukan vaksinasi, itu pasti (tidak terjadi). Kalau tidak salah kita di Indonesia sudah wajib vaksin tetanus, polio dan sebagainya. Makanya ke depan kita harus gencar kembali melaksanakan kegiatan vaksinasi, dan ini perlu keterlibatan semua elemen,” tutupnya.
Mimpi buruk polio, karena negara “terlena”
Sekitar 100 anak, mulai dari TK hingga SD dilibatkan dalam kegiatan pencanangan Pekan Imunisasi Nasional Polio di Provinsi Papua Selatan
Guru Besar Bidang Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat dan Keperawatan Universitas Gadjah Mada (UGM), Prof. dr. Mei Neni Sitaresmi, mengatakan kabar kejadian luar biasa polio di Tanah Air bagaikan mimpi buruk. Sebab, Indonesia sebetulnya sudah mendapatkan sertifikasi bebas polio pada 2014. Mungkin hal ini (pengakuan dalam bentuk sertifikasi) yang membuat terlena tidak ada kasus liar polio.
“KLB polio tidak hanya menjadi perhatian Indonesia, tetapi juga menjadi masalah dunia. Masyarakat luar Indonesia tentunya berpikir ulang jika mau ke Indonesia, karena penyakit ini sangatlah menular. Penularan bisa melalui makanan, cairan, mulut, lewat pembuangan air besar yang langsung ke sungai tanpa penampungan,” kata Prof Mei Sitaresmi dikutip dari laman Universitas Gadjah Mada Indonesia.
Mei Sitaresmi mengatakan penyakit menular itu disebabkan oleh virus polio. Terkait polio, dalam suatu wilayah bisa jadi 100 anak di wilayah tersebut kemungkinannya sakit tetapi bisa tanpa gejala. Artinya kemungkinan ada 100 anak terinfeksi tanpa gejala.
“Ada tiga jenis polio yang terkait dengan vaksin, ada polio 1, polio 2 dan polio 3. Virusnya menyerang melalui saluran pencernaan, masuk ke usus akan replikasi, sebagian besar tanpa gejala tetapi menularkan,” jelas dia.
Mei Neni Sitaresmi menjelaskan polio yang muncul kembali ini akan menjadi masalah kesehatan yang turut menyedot perhatian dunia, karena mudah sekali menular. Virus polio masuk ke dalam sistem pencernaan, bisa melalui tangan, makanan, minuman atau alat makan yang digunakan. Ketika ditemukan satu anak yang terkonfirmasi polio, bisa jadi ada 100 anak di sekitarnya yang tertular namun tidak bergejala. Meski tidak menimbulkan gejala, mereka tetap bisa menularkan virus polio ke anak lainnya.
Jika polio menimbulkan gejala, sambung Mei Sitaresmi, maka anak tersebut akan mengalami gejala antara lain demam, nyeri pada sendi, sakit kepala, mual dan muntah. Virus polio banyak menyerang anak di bawah lima tahun tetapi bisa juga menyerang anak di atas lima tahun jika riwayat imunisasinya tidak lengkap.
“Untuk orang dewasa secara teori bisa terjadi. Namun hal tersebut sangat jarang karena pada orang dewasa daya tahan telah terbentuk untuk melawan virus polio,” paparnya.
Lebih lanjut ia menjelaskan polio ini dapat menyebabkan kelumpuhan bersifat permanen. Artinya kelumpuhan akibat polio ini tidak bisa diobati, dan hal yang bisa dilakukan adalah fisioterapi untuk mengurangi efek kelumpuhan guna mencegah badan yang cenderung mengecil.
“Pada beberapa kasus polio juga bisa mengakibatkan kejang-kejang bahkan meninggal dunia. Karena polio tidak bisa diobati, maka pencegahan menjadi mutlak untuk dilakukan. Beberapa langkah pencegahan yang mesti dilakukan secara komprehensif. Utamanya melakukan vaksinasi secara lengkap untuk menguatkan daya tahan tubuh anak,” ujarnya.
Selain itu, kata dia, daya tahan tubuh juga dapat ditingkatkan melalui perbaikan status gizi anak. Perilaku hidup bersih dan sehat mutlak harus dilakukan untuk menciptakan lingkungan yang sehat guna mencegah penularan virus polio.
“Pandemi Covid-19 mengajari beberapa hal positif, rajin memakai masker dan mencuci tangan. Perilaku itupun mestinya tetap bisa dilakukan masyarakat,” tutupnya.
Untuk diketahui, dalam Peraturan Menteri Kesehatan Indonesia Nomor 1501 tahun 2010 terdapat 17 penyakit menular tertentu yang dapat menimbulkan wabah. Jika di suatu daerah ditemukan salah satu dari penyakit-penyakit menular tersebut yang sebelumnya tidak ada, maka penemuan tersebut dapat menjadi dasar ditetapkannya KLB. Polio adalah salah satunya. (*)
Artikel ini sudah terbit di Jubi.id