“Pemerintah Indonesia seharusnya tidak mengkriminalisasi aktivis yang berbicara menentang pelanggaran hak asasi manusia di Papua. Keluhan yang disampaikan harusnya dapat didengarkan dan ditangani.”
Jubi TV– Aliansi Masyarakat sipil Internasional (CIVICUS) dan Asian Human Rights Commision (AHRC) mengecam kriminalisasi pejuang Hak Asasi Manusia HAM Papua, Viktor Yeimo yang ditangkap sewenang-wenang dan ditahan karena menyuarakan pelanggaran HAM berkepanjangan yang dilakukan aparat keamanan di Papua. Pemerintah harus segera membebaskan Victor Yeimo dan membebaskannya dari segala tuntutan.”
Victor Yeimo, seorang pejuang pro-kemerdekaan dan juru bicara dari Komite Nasional Papua Barat, ditangkap pada tanggal 9 mei 2021 and dituntut atas tindakan Makar (pasal 106 and 110 KUHP). Kelompok-kelompok hak asasi manusia percaya bahwa tuduhan itu berakar pada keterlibatannya dalam aksi protes secara damai menyingkapi isu anti-rasisme pada tahun 2019 dan partisipasinya pada sesi Dewan Hak Asasi Manusia PBB pada tahun yang sama. Pada hari penangkapannya, dia tidak diberikan akses pada bantuan hukum dan untuk bertemu dengan keluarganya.
“Kami menyerukan pembebasan segera dan tanpa syarat terhadap Victor Yeimo dan semua tahanan politik lainnya di Papua. Pemerintah Indonesia seharusnya tidak mengkriminalisasi aktivis yang berbicara menentang pelanggaran hak asasi manusia di Papua. Keluhan yang disampaikan harusnya dapat didengarkan dan ditangani ,” kata Josef Benedict, Peneliti Kebebasan Sipil di Asia-Pasifik untuk CIVICUS.
Semenjak penahanannya, kondisi kesehatannya kian memburuk. Yeimo didiagnosis menderita empiema kandung empedu, TBC, hipokalsemia dan leukositosis. Ia juga memiliki riwayat penyakit lambung dan paru-paru. Persidangannya harus ditunda beberapa kali karena kondisi yang memburuk. Dalam sidang terakhir di Pengadilan Negeri Jayapura pada 21 Februari 2022, Yeimo secara resmi didakwa atas tuduhan makar karena menyerukan kemerdekaan Papua Barat. Persidangannya sedang berlangsung.
Pelanggaran hak asasi manusia di Papua makin mendapat sorotan dari PBB dan komunitas internasional dalam beberapa tahun terakhir. Pada tahun 2019, protes anti rasisme terjadi di Papua dan berbagai provinsi di Indonesia – salah satunya yang melibatkan Victor Yeimo secara damai – menyusul penangkapan 43 mahasiswa di Surabaya, Jawa Timur, karena diduga tidak menghormati bendera Indonesia.
Protes ditanggapi dengan kekerasan dari aparat keamanan serta pemadaman internet di Papua. Pada tahun 2021, terjadi protes lebih lanjut setelah pemerintah pusat merevisi dan memperbarui Undang-Undang Otonomi Khusus yang makin menghapus aspek-aspek penting dari desentralisasi dan otonomi daerah. Terakhir, ada 15 aktivis lainnya yang juga menghadapi tuduhan makar atas aksi damai mereka di Papua.
Baru-baru ini, Pelapor Khusus Pembela Hak Asasi Manusia PBB dalam sebuah pernyataan menyuarakan keprihatinan tentang memburuknya situasi di provinsi Papua dan Papua Barat, dengan sejumlah besar kasus pemindahan masyarakat adat, pembunuhan di luar proses hukum, penghilangan paksa, dan penyiksaan.
Di antara para korban termasuk anak-anak Papua. Pakar PBB meminta Pemerintah Indonesia untuk melakukan penyelidikan independen atas pelanggaran tersebut dan mendesak akses kemanusiaan ke provinsi tersebut.
“Aktivitas Victor Yeimo dan aktivis lainnya di Papua, yang dengan berani menyuarakan tentang pelanggaran HAM besar-besaran yang dilakukan oleh pasukan keamanan di Papua, sangat penting untuk meminta pertanggungjawaban pemerintah Indonesia dan membawa keadilan bagi para korban dan keluarga mereka.
Alih-alih mengkriminalisasi mereka, pemerintah harus menciptakan lingkungan yang aman dan memungkinkan bagi para aktivis dan pihak lain untuk menyuarakan keprihatinan mereka.” kata Basil Fernando, Direktur, Kebijakan dan Program di Asian Human Rights Commission.(*)