Jayapura, Jubi TV– Dulu para nelayan itu hanya melaut di sekitar Teluk Yos Sudarso di Kota Jayapura, Papua, tetapi sekarang mereka harus memakai motor tempel. Keluar jauh ke laut lepas di Samudera Pasifik. Akibatnya mereka harus menyiapkan segala keperluannya dengan modal minimal sekitar tiga juta rupiah sekali melaut.
Jangkauan mereka untuk melaut tadinya empat mil saja, tetapi sekarang sudah tiga kali jauhnya mencapai sekitar 12 mil dari daratan Kota Jayapura. Bahkan terkadang mereka melanggar tapal batas sampai ke negara tetangga, Papua Nugini (PNG) maupun Australia.
Mengapa nelayan harus melaut jauh sampai melewati tapal batas negara? Hal ini bisa dijawab karena di Kota Jayapura, salah satu faktornya, antara lain, karena adanya hutan bakau di Kota Jayapura, terutama di Teluk Youtefa yang rusak. Hutan bakau di dataran rendah Mimika juga rusak akibat pendangkalan buangan tailing, hingga nelayan lokal semakin jauh melaut.
Berbeda dengan nelayan yang memakai Kapal Motor Nelayan (KMN). Mereka bisa melaut jauh, bahkan sampai ke wilayah selatan di Papua Nugini.
Faktor lainnya, karena para penduduk juga memakai bahan peledak untuk mencari ikan, sesuai dengan pernyataan Dr. Agus Sumule belum lama ini di Jayapura. Dosen Universitas Negeri Papua itu mengatakan, warga di Raja Ampat sudah apatis dan setiap hari melihat KMN dari Bali juga mencari ikan di wilayah mereka, sehingga lebih baik memakai bahan peledak saja.
“Mo (mau) hancur dan rusak, biar sudah,” kata Sumule mengutip pernyataan warga di Raja Ampat.
Salah satu faktor penting lainnya adalah harus ada pembatasan nelayan dalam menggunakan alat pancing, termasuk jumlah kapal yang melaut di perairan perikanan di wilayah tangkapan Papua. Hal ini penting untuk menjaga keseimbangan lingkungan hidup di laut, dan memberikan ikan-ikan untuk bebas mencari dan berkembang biak.
Masyarakat lokal di Raja Ampat mengenal tradisi samson atau sama dengan tradisi orang Maluku sasi, yaitu melarang warga untuk mencari dan menangkap ikan selama waktu tertentu untuk melaut di areal perairan ikan dan terus menjaga terumbu karang.
Masyarakat adat di Depapre, Kabupaten Jayapura, Papua, mengenalnya dengan nama tradisi tiyatiki. Begitu pula di Sarmi dan wilayah Kabupaten Teluk Wondama di Provinsi Papua Barat.
Akibat dari tidak adanya pembatasan maupun pelarangan, jelas terjadi overfishing di perairan laut di Laut Arafura, di wilayah selatan Papua dan perairan laut Kota Jayapura.
Faktor-faktor di atas itu jelas membuat para nelayan itu harus mencari ikan sampai ke wilayah Kabupaten Sarmi dan sekitar Sungai Tami di dekat perbatasan RI dan PNG.
Akibat pencarian ikan yang terlalu jauh itu, terkadang para nelayan ini bisa saja melewati tapal batas negara tetangga, PNG.
Banyak nelayan asal Indonesia yang ditangkap, diadili dan menginap di hotel prodeo di PNG. Data dari Destructive Fishing Watch (DFW) Indonesia menerima laporan satu unit kapal ikan berbendera Indonesia ditangkap oleh otoritas penjaga laut Papua Nugini.
Data DFW Indonesia menyebutkan dalam enam kali penangkapan, terdapat 34 nelayan dan ABK Indonesia ditahan dan diadili oleh pemerintah PNG. Menurut DFW Indonesia dalam periode Mei 2020-November 2021 telah terjadi 6 kali penangkapan kapal Indonesia oleh pihak PNG.
Pihak DFW menyebutkan bahwa terjadi penangkapan ilegal di laut Arafura oleh kapal Indonesia—pelintas batas masih saja marak, karena belum ada upaya serius dari pemerintah untuk menjaga laut Arafura.
Penangkapan ilegal terjadi di wilayah PNG karena stok ikan di sana cukup tinggi dengan daerah fishing ground yang tidak terlalu jauh. Fishing ground-nya dekat, hanya 4-7 mil laut dari daratan tapi sudah masuk wilayah PNG dan jenis ikan yang menjadi target tangkapan adalah jenis ikan kakap cina, kakap putih dan kuro.
Kerusakan kawasan hutan bakau di Teluk Youtefa bisa dianggap sebagai salah satu biang perginya ikan-ikan di situ. Faktor lainnya mungkin pula terjadi karena kebiasaan mencari ikan dengan menggunakan bahan peledak, juga ikut mengurangi standing stock ikan di perairan Kota Jayapura.
Begitu pula hutan bakau di wilayah dataran rendah di Kabupaten Mimika, Provinsi Papua Tengah dan Selatan. Terutama di dataran rendah Mimika, karena sedimentasi tailing sisa pasir tambang yang mendangkalkan sungai dan sebagian hutan bakau.
Akibatnya saat air surut warga semakin jauh berjalan ke pantai, bahkan untuk melaut bagi nelayan lokal Suku Kamoro. Bahkan jika air pasang, permukaan air laut naik hingga kampung bisa terendam air laut.
Hutan bakau yang sakit
Memang harus diakui, jauh sebelum peresmian jembatan Youtefa, aktivitas di sekitar hutan lindung dan hutan wisata alam Teluk Youtefa telah dirambah dan berubah fungsinya. Peneliti dari Fakultas MIPA Program Studi Perikanan John Kalor mengatakan, bentangan alam di kawasan hutan lindung di Teluk Youtefa sudah banyak mengalami perubahan akibat alih fungsi lahan. Ia menyebut hutan bakau di sana sudah termasuk hutan bakau yang sedang sakit.
Pembangunan infrastruktur diperlukan untuk menunjang pengembangan ekonomi di Provinsi Papua, termasuk Kota Jayapura. Namun, Dr. Laode Muhammad Syarief mantan Wakil Ketua KPK mengingatkan, pembangunan infrastruktur harus ramah lingkungan atau green infrastructure.
Meski harapan Laode Syarief penting, sulit diwujudkan di lapangan. Jembatan Teluk Youtefa salah satu contoh—jembatan ini menerabas hutan bakau—dengan menimbun hutan bakau dengan karang dan tanah.
Masyarakat di Kampung Tobati, Injros sudah lama mengenal hutan bakau dengan menyebutnya sebagai hutan perempuan, sebab hanya kaum hawa yang boleh mencari dan menjaga kawasan hutan bakau itu sejak dulu. Pasalnya saat mencari kerang dan bia mereka melakukannya dengan tanpa busana alias telanjang.
Oleh karena itu, kaum laki-laki dilarang mendekati hutan perempuan. Jika melanggar akan kena sanksi adat.
Peneliti dari FMIPA Program studi perikanan, Universitas Cenderawasih John D. Kalor menyebutkan hutan bakau di Teluk Youtefa, sebagai “hutan bakau yang sedang sakit.”
Dia mengatakan, hutan mangrove Teluk Youtefa telah mengalami penyusutan luas hutan yang sangat signifikan. Pengukuran luas hutan pada 2018 mencatat hutan mangrove di Teluk Youtefa mencapai 233,12 hektare. Angka tersebut sejatinya telah berkurang lebih dari 50 persen, dari luasan 514,24 hektare pada 1967.
Selain itu, menurut peneliti dan dosen Fakultas Ilmu Kesehatan Masyarakat Universitas Cenderawasih, Dr Hazmi, Skm Mks pada 2014 menyimpulkan, ikan dan kerang di Teluk Youtefa, perairan Kota Jayapura, Papua, telah tercemar kandungan logam berat plumbum atau timbal.
“Kondisi ini diperparah lagi dengan perilaku warga yang membuang sampah langsung ke empat sungai yang mengalir ke Teluk Youtefa. Apalagi Teluk Youtefa berbeda dengan pantai Hamadi yang langsung terkena ombak, sehingga sampah bisa terbawa arus.”
Akibatnya hanya ikan bulanak yang terkandung logam berat, menjadi ikan terbanyak dan bertahan hidup di Teluk Youtefa. Nelayan di Kampung Tobati dan Injros hanya mencari ikan dengan menggunakan jaring dan alat pancing. Ikan yang didapat terkadang ikan bulanak, ikan samandar dan juga cumi-cumi. Itu pun harus membutuhkan waktu lama untuk mendapat dan menjaring ikan.
Bahan peledak
Di Kota Jayapura, di daerah permukiman Argapura sangat terkenal dengan sebuah kampung yang dijuluki dengan nama Kampung Vietnam, karena diduga hampir sebagian besar warga di situ mencari ikan dengan bahan peledak alias bom sisa Perang Dunia II.
Direktorat Kepolisian Perairan dan Udara Polda Papua menangkap tiga nelayan yang diduga telah menangkap ikan menggunakan bahan peledak di perairan Base G, Kelurahan Tanjung Ria, Distrik Jayapura Utara.
Perbuatan ini jelas sangat merugikan habitat, termasuk terumbu karang. Pelaku itu ditetapkan sebagai tersangka karena melanggar pasal 84 ayat 1 jo pasal 8 ayat 1 sub pasal 100B UU RI no 45 tahun 2009 tentang perikanan dengan ancaman hukuman 5 tahun penjara.
Dampak kerusakan ekosistem dan habitat di laut, terutama di Pantai Base G sangat luar biasa. Hampir sepanjang satu kilometer hancur dan terjadi abrasi yang luar biasa.
Pasalnya fungsi karang di laut adalah untuk menahan ombak dan gelombang. Sayangnya karang dan terumbu rusak akibat bahan peledak bom. Terumbu karang itu butuh ratusan tahun untuk tumbuh kembali, dan itu merupakan habitat bagi ikan-ikan di laut lepas terutama di daerah reef.
Overfishing
Faktor lain yang bisa menjadi dampak bagi perginya ikan-ikan dari Teluk Yos Sudarso dan Teluk Youtefa di Kota Jayapura dari pantauan di lapangan, terutama jumlah bagan milik nelayan berupa bagan berpindah-pindah lokasi dan bagan menetap.
Selain itu, alat tangkap yang diduga masih memakai jaring-jaring besar mirip pukat harimau. Pasalnya bahwa penggunaan lampara dasar atau pukat harimau sangat berbahaya. Karena bisa menyapu dasar perairan laut dan merusak habitat yang ada di dalamnya.
“Kalau habitat rusak, tentu akan mengganggu siklus hidup ikan di laut.”
Bagan atau bagang (juga biasa disebut sebagai bagan apung) adalah suatu alat penangkapan ikan yang menggunakan jaring dan lampu. Alat untuk light fishing (pemancingan cahaya) umumnya berbentuk pondok kecil apung, yang dipasang di pinggiran atau tengah laut.
Penggunaan bagan yang berlebihan diduga bisa pula mengurangi populasi ikan di Teluk Yos Sudarso, Kota Jayapura.
Overfishing atau penangkapan ikan berlebihan bisa berdampak negatif bagi ekosistem air, terutama terjadi jika penangkapan ikan melebihi tingkat pertumbuhan populasi ikan itu sendiri.
Nelayan ditangkap di PNG
Terkadang melaut yang terlalu jauh, melewati tapal batas negara, ada pula para nelayan harus tertangkap petugas patrol dari polisi PNG. Sudah banyak nelayan Indonesia yang harus menjalani proses hukum di sana—mulai dari penangkapan, diadili dan menginap di hotel prodeo di negara tetangga itu.
Nasional Fisher’s Center Jakarta pernah menerima pengaduan satu nelayan asal Jayapura, Provinsi Papua, yang ditangkap dan ditahan oleh aparat Papua Nugini. Penangkapan tersebut terjadi pada Sabtu, 27 Mei 2023.
National Fisher’s Center telah menyampaikan pengaduan ini kepada pemerintah Indonesia melalui Kementerian Luar Negeri dan Kementerian Kelautan dan Perikanan di Jakarta.
Koordinator Nasional Destructive Fishing Watch (DFW) Indonesia, Mohamad Abdi Suhufan mengatakan, nelayan asal Jayapura tersebut sebelumnya menangkap ikan di perairan perbatasan, tapi masih masuk dalam WPP 717.
“Korban bersama 20 kapal ikan Indonesia berukuran kecil sedang melakukan penangkapan ikan tiba-tiba dikejar dengan menggunakan speedboat oleh aparat PNG” kata Abdi.
Hal tersebut terjadi pada Sabtu, 27 Mei 2023. Nelayan itu mengoperasikan kapal kecil dengan nama kapal KM Cahaya Selatan, ditangkap pada saat itu dan ditahan di Vanimo, ibu kota Provinsi Sepik Barat, PNG, yang berbatasan dengan Kota Jayapura, Provinsi Papua.
Manajer Nasional Fisher’s Center DFW Indonesia, Imam Trihatmadja mengatakan bahwa permasalahan nelayan pelintas batas asal Papua yang melanggar perbatasan masih sering terjadi. Hal ini membutuhkan perhatian dan penanganan serius oleh pemerintah.
Pelanggaran ini sering dilakukan oleh nelayan individu dengan kapal kecil dan kapal ikan yang diawaki kurang dari 10 orang.
DFW menyarankan agar pemerintah Indonesia perlu membuat kerja sama dengan pihak PNG, tentang perlindungan dan penanganan nelayan kecil Papua, yang melanggar wilayah perairan tersebut.
Restorasi bakau dan batasi alat tangkap serta larangan bahan peledak
Untuk mengembalikan populasi dan potensi sumber daya laut di Teluk Youtefa dan Yos Sudarso, Kota Jayapura, akademisi Uncen menyarankan restorasi ekosistem hutan mangrove di Teluk Youtefa, Kota Jayapura, Provinsi Papua. Ini mendesak untuk segera dilakukan.
“Pembangunan infrastruktur telah merusak ekosistem dan menggerus luas hutan mangrove. Padahal, hutan mangrove di Teluk Youtefa erat kaitannya dengan masyarakat, baik secara adat, maupun ekonomi.”
Selain itu, larangan penggunaan bahan peledak dalam mencari ikan perlu diawasi dan dikawal ketat, terutama aparat kepolisian di wilayah Kota Jayapura dan sekitarnya.
Overfishing dapat pula dicegah dengan pemberian izin mencari ikan bagi nelayan dari Dinas Perikanan Kota Jayapura sangat penting. Memang Dinas Perikanan Kota Jayapura telah merevitalisasi armada tangkap dari tradisional ke sistem penangkapan modern. Bantuan kapal ini diberikan mengingat saat ini daerah penangkapan ikan nelayan Kota Jayapura makin jauh—dulunya sampai 4 mil sekarang sudah di atas 12 mil.
Oleh karena itu, bantuan yang diberikan harus dilengkapi pula dengan peralatan perikanan tangkap sarana keselamatan dan GPS.
Salah satu saran terpenting bagi pemerintah Indonesia adalah perlu membuat kerja sama dengan pihak PNG, tentang perlindungan dan penanganan nelayan kecil Papua yang melanggar wilayah perairan tersebut.
Pasalnya standing stock ikan di PNG masih banyak dan memberi peluang bagi nelayan Indonesia, untuk terus melintasi, bahkan melanggarnya. Nenek moyang kita memang pelaut, bukan berarti melewati tapal batas negara untuk mengejar ikan sampa ke negara tetangga, PNG. (*)
Artikel ini sudah terbit di jubi.id