Jayapura, Jubi TV– Laporan terbaru Civicus, sebuah aliansi organisasi masyarakat sipil global yang berfokus kepada pemenuhan Hak Sipil dan Politik di seluruh belahan dunia, menyoroti berbagai insiden pembubaran demonstrasi damai di Papua.
Civicus mengimbau pemerintah Indonesia menghentikan kriminalisasi terhadap penyampaian pendapat di muka umum yang dilakukan secara damai.
Berkaitan dengan peluncuran Laporan terbaru Civicus disusun dari hasil pemantauan yang dilakukan Civicus Monitor sepanjang tahun 2022. Laporan itu antara lain menyoroti kasus pembubaran demonstrasi menolak pemekaran Papua yang terjadi Dekai, ibu kota Kabupaten Yahukimo pada 15 Maret 2022. Sejumlah dua demonstran, Yakob Meklok dan Esron Weipsa meninggal dunia saat polisi membubarkan demonstrasi itu.
Selain menyoroti maraknya pembubaran demonstrasi damai di Papua, Civicus juga menyoroti kriminalisasi terhadap demonstran di Papua. Keterangan pers tertulis Civicus yang diterima Jubi pada Rabu (7/12/2022) menyebut ada tindak kekerasan secara berkelanjutan yang dilakukan oleh aparat keamanan terhadap pengunjuk rasa dari Papua.
Civicus mencatat pada bulan Maret 2022, polisi menangkap setidaknya 90 pelajar dari Papua dalam pembubaran demonstrasi di dekat komplek Istana Negara, Jakarta. Demonstrasi tersebut dilakukan untuk menolak pemekaran provinsi di wilayah Papua. Berdasarkan laporan yang diterima, 5 pengunjuk rasa mengalami luka-luka selama penahanan.
Civicus juga mencatat pembubaran demonstrasi di Kota Jayapura yang kerap menggunakan water cannon dan gas air mata. Pada bulan Mei 2022, aparat keamanan menggunakan water cannon dan gas air mata untuk membubarkan pengunjuk rasa di Waena, luar Jayapura, di mana sedikitnya satu orang pengunjuk rasa ditembak dengan peluru karet.
Pada bulan Juni 2022, Civicus menemukan adanya pembubaran demonstrasi di empat kota. Dalam pembubaran demonstrasi di empat kota itu, sedikitnya 44 pengunjuk rasa ditahan, dan 25 orang terluka setelah polisi membubarkan demonstrasi damai itu.
Civicus juga menyoroti kasus pembubaran demonstrasi yang terjadi di wilayah lain Indonesia. Pada bulan September 2022, ribuan pengunjuk rasa berdemonstrasi di kota-kota besar di Indonesia untuk menekan pemerintah agar tidak menaikan harga bahan bakar minyak (BBM).
Di Bengkulu, polisi menggunakan water cannon dan gas air mata terhadap pelajar, dan setidaknya delapan orang ditahan. Penggunaan Water cannon dan gas air mata juga dilakukan di Palembang, Sumatra Selatan, Pematang Siantar, Sumatra Utara, and Bima, Nusa Tenggara Barat, untuk membubarkan pengunjuk rasa.
Selain itu, Civicus juga mengkhawatirkan pengesahan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) yang mengkriminalisasi penyampaian pendapat di muka umum atau demonstrasi yang dilakukan tanpa surat pemberitahuan. Civicus menyebut RKUHP yang telah disahkan menjadi KUHP pada Selasa (6/12/2022) dapat memperburuk pemenuhan hak untuk berunjuk rasa. Civicus menegaskan bahwa dalam hukum internasional, unjuk rasa secara spontan untuk menanggapi isu atau perkembangan secara tiba-tiba tidak seharusnya dikriminalisasi.
Civicus juga memotret kondisi kemerdekaan penyampaian pendapat di muka umum di seluruh kawasan Asia Pasifik, dari Afghanistan hingga Fiji. Civicus menyatakan di kawasan tersebut hak untuk berunjuk rasa terus menghadapi pembatasan dan serangan. Pemantauan Civicus menunjukkan bahwa pengunjuk rasa di wilayah tersebut menghadapi tantangan sebelum, selama, dan setelah protes.
Di Cina, Vietnam, dan Laos, di mana ruang sipil dinilai ‘tertutup’, kebebasan berkumpul secara damai dibatasi secara ketat dalam hukum dan praktik. Di Sri Lanka, pemerintah berulang kali menggunakan peraturan keadaan darurat untuk membatasi protes massal terkait krisis ekonomi.
Di Afghanistan, negara yang kini dikkuasai Taliban, Taliban mengumumkan larangan semua protes di Kabul dan provinsi lain tanpa izin sebelumnya. Thailand juga melarang protes dan demontrasi hingga September 2022, dengan alasan pencegahan penularan Covid-19.
Di Pasifik, di mana ruang sipil relatif terbuka, ada kekhawatiran. Di Australia, pada tahun 2022, tiga negara bagian mengesahkan undang-undang anti-protes yang menerapkan hukuman keras untuk protes tanpa kekerasan, terutama yang ditujukan untuk pengunjuk rasa iklim.
Dokumentasi Civicus Monitor di 27 negara menunjukkan penahanan demonstran terjadi di sedikitnya 20 negara. Di Sri Lanka, aparat keamanan menangkap dan menahan tersangka tanpa surat perintah penahanan dan tanpa proses yang wajar.
“Di banyak negara di kawasan Asia Pasifik, negara menggunakan peraturan darurat, undang-undang anti-protes, dan bahkan tindakan COVID-19 untuk memblokir atau mengganggu protes serta menangkap dan menahan pengunjuk rasa yang menuntut reformasi politik dan ekonomi, diakhirinya diskriminasi, keadilan iklim. atau hak pekerja. Tindakan ini bertentangan dengan hukum dan standar hak asasi manusia internasional dan menciptakan lingkungan yang mengerikan bagi mereka yang berbicara dan memobilisasi”, kata Josef Benedict, Peneliti Kebebasan Ruang Sipil di Civicus Monitor.
Penggunaan kekuatan yang berlebihan oleh aparat keamanan dalam pembubaran demonstrasi didokumentasikan setidaknya di 14 negara di kawasan Asia Pasifik sepanjang tahun ini. Pembunuhan pengunjuk rasa oleh pasukan keamanan didokumentasikan di setidaknya empat negara pada tahun lalu, terutama di Myanmar, di mana lebih dari seribu orang telah dibunuh oleh junta. Negara lain di mana hal ini terjadi termasuk Nepal, Sri Lanka dan Indonesia.
Bahkan setelah protes, pengunjuk rasa terus menjadi sasaran. Berbagai ketertiban umum, keamanan nasional, dan undang-undang lainnya digunakan untuk mengkriminalisasi pengunjuk rasa. “Puluhan pengunjuk rasa di wilayah Asia telah dipenjara atas tuduhan palsu atau tetap dalam penahanan pra-sidang untuk waktu yang lama dan jaminan ditolak. Beberapa telah disiksa dan dianiaya. Ada juga kurangnya pertanggungjawaban atas cedera dan pembunuhan pengunjuk rasa yang menyoroti iklim impunitas di wilayah tersebut,” kata Benedict.
Data Civicus Monitor menunjukkan bahwa pembatasan kebebasan berkumpul secara damai telah terjadi di setidaknya 100 negara sejak Oktober 2021-September 2022. Penahanan pengunjuk rasa adalah pelanggaran yang paling umum. Mereka yang menjalankan kebebasan mendasar mereka telah ditahan di setidaknya 92 negara selama setahun terakhir.
Kekuatan yang berlebihan juga menjadi tema berulang dari protes tahun ini. Demonstran dihadang dengan meriam air, pentungan, gas air mata, dan tindakan kekerasan lainnya di lebih dari 40 persen negara yang merekam protes. Yang paling meresahkan adalah pembunuhan di luar hukum terhadap pengunjuk rasa, yang terjadi di setidaknya 24 negara. (*)
Artikel ini sudah terbit di Jubi.id dengan judul: Laporan Civicus soroti pembubaran demonstrasi damai di Papua