Jayapura, Jubi TV– Saat Jubi hendak menuju Kampung Enggros, Jumat (8/12/2023), tampak warga sedang membeli air minum di tepi laut di Pantai Ciberi, dekat jembatan Merah, Entrop. Di atas perahu fiber, warga mengangkut dua tanki air minum ukuran 500 liter untuk dibawa ke Kampung Enggros.
”Air minun dan cuci ini hanya untuk satu keluarga saja,” kata warga tersebut seraya menambahkan air minum ini hanya untuk kebutuhan selama sepekan.
Pdt Hizkia Rollo, Wakil Ketua Sinode GKI di Tanah Papua, mengatakan dulu sebelum sumber air minum tercemar, biasanya orang tua mendayung dan mengambil air di Kali Vim di daratan.
“Sekarang ini sudah tidak layak untuk diminum. Memang dari PDAM pernah memasang saluran air minum tetapi pipa terputus atau rusak,” kata Pdt Hizkia Rollo.
Pantauan Jubi di lokasi permukiman warga di Kampung Enggros, belum ada bak penampungan dan saluran khusus untuk air hujan saat hujan turun.
“Mungkin belum terbiasa dengan air hujan. Padahal kalau ada bak atau tanki penampung air hujan, bisa berguna dan menambah stok air,” kata D’Karlo Purba, Program Manager Adventis Development Relife Agency (ADA), yang bekerja sama dengan Sinode GKI di Tanah Papua.
Memang, kata Purba, air hujan masih jarang dipakai untuk memasak atau pun mandi. Tetapi sebenarnya air hujan sangat layak untuk dipakai mencuci dan mandi.
Kampung Enggros berpenduduk 200 KK dan memiliki motto Ruuwah Teei Hen Ticahi Nuhni Hasaned yang berarti kami bekerja demi kebesaran Kampung Enggros. Masyarakatnya tertanam saling menyayangi, sehati, dan sejalan untuk membangun kampung.
Permukiman warga sudah mendapat penerangan listrik dari PT PLN Papua dan Papua Barat. Hanya saja sarana air minum yang rusak karena pipa yang dulu dibangun sudah tak berfungsi lagi, terpaksa warga harus membeli air untuk keperluan konsumsi dan mandi.
Perahu nelayan dan keramba
“Dulu warga mencari ikan gampang dan cepat, tinggal memancing di bawah kolong rumah panggung dan ikan sudah terkait di mata kail. Sekarang sudah sulit mencari ikan,” kata Pdt Hizkia Rollo, yang lahir di Kampung Enggros.
Dia menambahkan akibat hutan bakau yang terus ditebang dan pencemaran Teluk Youtefa, ikan semakin berkurang.
Hal senada juga disampaikan tokoh adat dan ondoafi, John Sani.
“Sekarang kalau warga lepas jaring di laut yang tertangkap justru plastik atau kantong kresek plastik. Sulit untuk mencari ikan lagi,” katanya.
Memang ada warga yang mempunyai keramba, tetapi tidak semuanya, hanya beberapa keluarga saja. Sarana transportasi dari darat ke lokasi perkampungan lebih banyak menggunakan perahu fiber dan perahu dari kayu bintangor.
“Dulu kitorang kalau mau bikin perahu bisa cari pohon perahu atau bintangor. Tetapi sekarang harus beli di Kampung Ormu. Perahu ukuran besar harganya mencapai Rp4 juta, sedangkan yang kecil Rp2 juta,” kata John Sani.
“Perahu fiber sangat kuat dan tahan lama tetapi harganya sangat mahal,” sambungnya.
Sekadar informasi, tiang utama terbentuknya Kampung Enggros adalah tiang-tiang asli suku yang membentuk kampung atau suku antara lain, klen Anyi (Sanyi), Runyi (Drunyi), Klen Anasbei (Hanasbei), Klen Meraujwe (Meraudje), Klen Semra, Klen Chaai (Haai), dan Klen Hababuk.
Sementara itu, Dinas Pariwisata Kota Jayapura tengah menyiapkan dua kampung di daerahnya untuk mengikuti dan masuk dalam ajang Anugerah Desa Wisata Indonesia (ADWI) tahun 2024 mendatang. Kedua kampung itu adalah Kampung Kayu Pulo, Distrik Jayapura Selatan dan Kampung Enggros, Distrik Abepura.
Kepala Dinas Pariwisata Kota Jayapura, Benoni Matias Mano, mengatakan Kampung Enggros dan Kayu Pulo menjadi destinasi wisata di Kota Jayapura. (*)
Artikel ini sudah terbit di jubi.id