Jubi TV – Dari delapan kasus pembunuhan di luar hukum dan penghilangan paksa yang dilaporkan antara Januari dan Maret tahun ini, tujuh diantaranya terkait dengan konflik bersenjata di pegunungan tengah Papua. Tidak ada penyelidikan atas pembunuhan tersebut karena militer mengklaim para korban terkait dengan Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPN PB). Intensitas konflik yang sedang berlangsung semakin parah seiring Jakarta terus mengerahkan pasukan non-organik tambahan ke Tanah Papua. Sedikitnya 1.800 personel tambahan militer dan 100 anggota polisi khusus dipindahkan ke Tanah Papua pada kuartal pertama tahun 2021 untuk memerangi Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPNPB), menjaga ketertiban umum, dan mengamankan kepentingan pemerintah dan militer. Pemerintah Indonesia terus menggunakan solusi kekerasan untuk menghadapi konflik-konflik tersebut.
Pada Maret 2021, Pemerintah Indonesia memasukan TPNPB ke dalam daftar organisasi teroris. Tindakan ini akan membuat upaya dialog damai antara pihak-pihak yang berkonflik menjadi semakin tidak mungkin. Pengerahan pasukan keamanan non-organik dan bentrokan bersenjata yang berkelanjutan merugikan masyarakat adat di daerah konflik. Kekerasan bersenjata di Kabupaten Intan Jaya mengakibatkan pengungsian dari setidaknya 3.600 orang asli Papua.
Pengiriman pasukan non-organik ke Papua selama ini ternyata tidak bisa menyelesaikan masalah separatisme apalagi mengurangi ancaman seperti yang terjadi akhir-akhir ini yaitu penembakan Kabinda dan anggota Brimob.
Kebebasan mendasar seperti berkumpul dan berekspresi secara damai sangat dibatasi oleh aparat keamanan, terutama dengan dalih menegakkan protokol kesehatan COVID-19. Jika protes damai dan kegiatan publik tentang isu West Papua direncanakan atau terjadi, mereka dihalangi atau segera dibubarkan oleh aparat keamanan. Beberapa pembubaran disertai dengan penangkapan sewenang-wenang dan penahanan sementara pengunjuk rasa.
Lembaga penegak hukum terus menghadapi segala keterlibatan dalam kegiatan politik yang berkaitan dengan kemerdekaan West Papua dengan kerasnya hukum. Pola penuntutan untuk membungkam para aktivis telah meluas dan mencakup dakwaan untuk membantu dan bersekongkol dalam pembunuhan, penyerangan fisik atau pelanggaran undang-undang darurat mengenai senjata api ilegal.
Selama kuartal ini setidaknya empat persidangan berakhir di mana hakim memutuskan terdakwa bersalah sementara pengacara berpendapat bahwa keterlibatan kriminal tidak terbukti di pengadilan. Seorang hakim di Merauke menolak praperadilan legalitas penangkapan 13 aktivis, yang ditangkap tanpa surat perintah dan disiksa selama penahanan polisi. Polisi dan kejaksaan cenderung mendorong proses pengadilan meskipun kurangnya bukti – sebuah strategi yang sering diterapkan lembaga penegak hukum untuk membungkam aktivis pro kemerdekaan dan pengkriti pemerintah.
Menyusutnya ruang publik di Papua Barat juga menghambat wacana publik yang bebas mengenai amandemen Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua, menyusul debat parlemen Indonesia tentang revisi UU Otsus Papua pada Januari 2021. Rancangan amandemen tentang Pasal 76 yang mengatur tentang pembentukan daerah otonomi baru, dan Pasal 34(3)e tentang alokasi dana otonomi khusus mendapatkan tantangan yang kuat.
Khususnya, usulan amandemen Pasal 76 undang-undang tersebut secara sistematis bertujuan untuk melemahkan mandat parlemen provinsi Papua (DPRP) dan Majelis Rakyat Papua (MRP). Berbagai demonstrasi menentang pembentukan provinsi baru dan perpanjangan Otonomi Khusus Papua menggambarkan meluasnya penolakan rencana Jakarta. MRP dan DPRP secara terbuka menyatakan ketidaksetujuan mereka terhadap revisi UU sepihak tersebut. Namun kelompok elit politik kecil dan nasionalis mendorong perpanjangan otonomi khusus dan pemekaran Provinsi Papua menjadi lima provinsi. (*)
Tim Redaksi