Jubi TV – Serupa dengan periode pelaporan sebelumnya, statistik hak asasi manusia antara April dan Juni 2021 terus mencerminkan dampak konflik bersenjata dan ketegangan politik bagi masyarakat sipil Papua. Jumlah penangkapan sewenang-wenang, politik dan non-politik, terus tinggi karena polisi secara tegas membatasi kebebasan berkumpul secara damai dan hak-hak sipil-politik lainnya. Namun demikian, masyarakat Papua menyuarakan ketidakpuasan mereka atas otonomi khusus Papua dan aspirasi penentuan nasib sendiri dalam demonstrasi damai. Aktivis Papua dan pembela hak asasi manusia, Victor Yeimo, ditangkap pada awal Mei 2021 dan didakwa dengan berbagai tuduhan kriminal, di antaranya makar. Polisi menuduhnya mendalangi protes di seluruh Papua Barat terhadap rasisme dan kerusuhan sipil antara Agustus dan September 2019.
Lihat postingan ini di Instagram
Tiga dari enam korban eksekusi di luar hukum yang dilaporkan meninggal dalam konteks penggerebekan aparat keamanan di Kabupaten Puncak. Semuanya adalah orang asli Papua. Pengamat memperkirakan setidaknya 31.833 orang asli Papua mengungsi di Kabupaten Puncak karena konflik bersenjata antara Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPNPB) dan aparat keamanan Indonesia. Hanya sedikit dari mereka yang memiliki akses ke perawatan medis dan bantuan kemanusiaan lainnya.
Konflik bersenjata di Puncak meningkat setelah anggota TPNPB menembak kepala intelijen Papua pada 25 April 2021 dan mengeksekusi dua guru sekolah pada pertengahan Mei 2021. Menyusul insiden itu, Presiden Joko Widodo memerintahkan polisi dan militer untuk menemukan dan menangkap semua anggota kelompok kriminal bersenjata di Papua Barat. Pada akhir April 2021, pasukan keamanan gabungan melancarkan operasi besar-besaran di Kabupaten Puncak, yang dilaporkan telah menyebabkan pengungsian ribuan penduduk asli Papua.
Lihat postingan ini di Instagram
Pada 29 April 2021, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan, Prof. Mahfud MD, mengumumkan bahwa pemerintah Indonesia akan mengkategorikan kelompok separatis bersenjata di Papua Barat – termasuk organisasi dan individu terkaitnya – sebagai organisasi teroris. Gubernur Papua dan pengamat hak asasi manusia mengkritik langkah tersebut, dengan alasan bahwa label tersebut mempersempit ruang untuk dialog, memungkinkan pihak berwenang untuk mencegah kebebasan berekspresi dan melanggengkan siklus kekerasan di Papua Barat.
Saat konflik di Puncak semakin parah, internet di Kabupaten Jayapura dan Sarmi padam antara 30 April hingga 8 Juni 2021. Pengamat media menduga gangguan itu disengaja untuk menghambat arus informasi, seperti yang terjadi di masa lalu. Seorang perwakilan dari perusahaan telekomunikasi milik pemerintah PT Telkom, mengklaim bahwa putusnya kabel bawah laut sebagai penyebab gangguan tersebut.
Sementara itu, parlemen Indonesia membahas amandemen undang-undang otonomi khusus Papua. Draf pertama undang-undang yang diamandemen (Rancangan Undang-undang) muncul tanpa konsultasi terlebih dahulu dengan Majelis Rakyat Papua (MRP & MRPB) dan parlemen provinsi di Papua dan Papua Barat. Menanggapi hal tersebut, MRP dan MRPB mengajukan gugatan tentang RUU tersebut ke Mahkamah Konstitusi. Kedua MRP menilai Jakarta telah melanggar prosedur amandemen undang-undang otonomi khusus.
Konflik kepentingan lebih lanjut antara Papua dan Jakarta muncul pada akhir Juni setelah penggantian sementara Gubernur Papua Lukas Enembe, yang telah menjalani perawatan medis di Singapura sejak 9 Mei 2021. Kementerian Dalam Negeri bereaksi atas ketidakhadiran Enembe pada 24 Juni 2021. menunjuk Sekda Papua, Dance Yulian Flassy, sebagai wakil sementara Enembe. Intervensi kementerian tersebut menantang keputusan Lukas Enembe untuk mengangkat asisten sekda, Dr Muhamad Ridwan Rumasukun, sebagai Sekda Provinsi Papua yang baru.
Lihat postingan ini di Instagram
Dewan Gereja-Gereja Papua Barat (WPCC) mengkritik langkah kementerian, dengan mengatakan itu adalah bagian dari agenda pemerintah yang lebih besar untuk melakukan politik yang memecah belah orang Papua dan melanggengkan Status Otonomi Khusus. Pada awal April, WPCC telah meminta Presiden Indonesia untuk melakukan negosiasi dengan kelompok pro-kemerdekaan Papua untuk mengakhiri konflik bersenjata yang berlangsung lama di Tanah Papua. (*)
Tim Redaksi