Jubi TV – Setiap pagi menjelang jam sekolah di depan dermaga yang dibuat sepenuhnya dari kayu itu berkumpul anak-anak SD Kampung Atamali, Kabupaten Jayapura, Papua. Mereka saling menunggu untuk bersama-sama berangkat ke sekolah menggunakan perahu.
“Biasa ke sekolah sama-sama teman. Kita berangkat ramai-ramai,” kata Jimmy Melansena.
Jimmy Melansena, laki-laki 8 tahun itu masih duduk di kelas 2 SD. Ia dan sekitar 49 anak-anak SD dari Atamali bersekolah di Kampung Kensio. Mereka bersekolah di SD Negeri Inpres Kensio. Aktivitas di sekolah berlangsung Senin sampai Jumat pada pukul 8 pagi hingga pukul 12 siang.
“Kadang kami ke sekolah, tapi guru tidak ada,” ujarnya.
Jarak dari kampung ke sekolah mereka sekitar 500 meter. Untuk bisa ke sekolah cuma satu akses dengan memakai perahu. Perahu menjadi modal bagi anak-anak Kampung Atamali agar tidak ketinggalan pelajaran.
Memakai perahu memiliki resiko, sebab perahu itu ringan dan ukurannya kecil. Jimmy sejak kelas 1 SD memakai perahu sendiri. Ia mengaku minggu lalu ketika pulang dari sekolah perahu yang ditumpangi terbalik. Hal itu terjadi karena angin danau menghempaskan perahunya.
“Angin bikin perahu saya terbalik, perahu juga kecil jadi,” ujar Jimmy.
Rata-rata perahu yang digunakan anak-anak tersebut berukuran panjang 4 hingga 10 meter dengan lebar 50 hingga 70 cm. Tak heran ada anak-anak harus duduk jongkok di atas perahu dan sangat penting menjaga keseimbangan.
“Satu perahu ada 3 sampai 5 orang,” ujar Jimmy.
Kampung Atamali termasuk dalam Distrik Ebungfauw, Kabupaten Jayapura. Kampung dengan ukuran luas kurang lebih 2,5 hektare berada di tengah Danau Sentani. Kampung tersebut dihuni kurang lebih 40 kepala keluarga yang bertahan hidup sebagai nelayan dan berkebun.
“Tapi kebanyakan kami semua nelayan mancing ikan di danau,” kata warga Kampung Atamali, Maikel Ibo, 50 tahun.
Ibo mengaku sudah sekitar 15 tahun anak-anak SD dari Kampung Atamali berangkat ke sekolah memakai perahu. Sebab perahu bermesin 15 pk yang pernah digunakan mengantar anak-anak sudah rusak.
“Dorang pakai perahu ke sekolah,” katanya.
Sebagai orang tua, Ibo merasa khawatir akan keselamatan anak-anak. Namun, ia tak mempunyai pilihan, karena tak ada alat transportasi lain, sehingga anak-anak disekolahkan di lokasi terdekat dari Kampung Atamali.
“Di Kensio itu paling dekat sudah. Kita mau sekolahkan di Kampung Khameyakha tapi terlalu jauh. Nanti anak-anak cape dayung, terus resiko besar karena angin lebih kencang,” ujarnya.
Di Kampung Atamali ada sekitar 50 anak usia SD. Sedangkan usia SMP berjumlah sekitar 30 anak dan usia SMA 20 orang. Anak-anak usia SMP dan SMA kebanyakan bersekolah di kota Sentani. Di Kampung Atamali ada satu sekolah dasar, yaitu SD Negeri Atamali. Sekolah ini hanya diperuntukkan untuk kelas 1 dan kelas 2. Namun tidak dibuka karena tak ada guru. Ibo mengaku terkadang anak-anak usia SD di Kampung Atamali bisa sampai sebulan tidak bersekolah karena sekolah tersebut tidak ada guru. Ini yang pada akhirnya berpengaruh terhadap kemampuan membaca dan tulis mereka.
“Membaca saja tidak bisa, terpaksa ada dua siswa dari kampung ini tidak diterima masuk SMP. Satu siswa di tahun 2020 dan satunya di tahun 2021. Saya jadi bingung guru dong kasih lulus mereka ukurannya apa,” ujarnya.
Ibo tidak terlalu berharap banyak akan bantuan perahu dari pemerintah bagi anak-anak tersebut. Ia hanya meminta perhatian serius dari Pemerintah Kabupaten Jayapura mengawasi guru-guru yang mengajar di kampung-kampung di Danau Sentani. Sehingga tidak berdampak serius pada kualitas pendidikan yang diperoleh anak-anak Kampung Atamali.
“Kalau perahu nanti, kalau nggak salah tahun ini atau tahun depan dari sinode mau bantu. Itu sudah pasti,” katanya. (*)