Sentani, Jubi TV– Moderator Dewan Gereja Papua atau DGP, Pdt Benny Giay mengatakan perlu ada pihak ketiga untuk menginvestigasi berbagai kasus kekerasan yang melibatkan aparat keamanan di Tanah Papua.
Pihak ketiga itu harus menguji semua fakta dan informasi terkait, termasuk tudingan bahwa korban adalah anggota kelompok Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat atau TPNPB.
Hal itu disampaikan Pdt Benny Giay di Sentani, Kabupaten Jayapura, Papua, pada Selasa (16/3/2024). “Orang-orang yang ditangkap, dibunuh itu seringkali dirujuk sebagai KKB, separatis, teroris, dan [tuduhan] lainnya. Itu perlu ada pihak ketiga untuk mengklarifikasinya. Kondisi di Tanah Papua sekarang ini banyak kekerasan, tetapi media juga tidak ada yang mau klasifikasi, jadi kita curiga semua,” kata Giay.
Giay mencontohkan insiden ujaran rasial terhadap mahasiswa Papua di Surabaya, Jawa Timur, pada Agustus 2019 yang memicu demonstrasi besar-besaran di berbagai kot. Giay menyatakan ketika orang Papua berdemonstrasi memprotes ujaran rasial itu, orang Papua justru dilabeli makar.
Ia juga menyinggung kebijakan pemerintah yang melabeli kelompok TPNPB sebagai teroris pada April 2021. Menurutnya, berbagai pelabelan itu dipakai aparatur negara terhadap orang Papua, termasuk ketika orang Papua menjadi korban kekerasan yang dilakukan aparat keamanan di Tanah Papua.
“Gampang saja TNI/Polri dapat kuasa melabel semua orang Papua KKB, lalu dia tangkap, siksa, aniaya dan bunuh semua. Kecuali TNI/Polri itu malaikat, baru kami percaya apa yang dong labelkan itu benar,” kata Giay.
Giay menjelaskan pihak ketiga yang ia maksudkan adalah lembaga independen, lembaga swadaya masyarakat, ataupun media pers lokal, nasional, maupun internasional yang independen. Jika temuan pihak independen itu sama dengan klaim TNI/Polri, masyarakat Papua akan mempercayai klaim TNI/Polri itu.
“Tapi selama [investigasi pihak ketiga] itu belum ada, yang mampu mengecek apakah korban [anggota] TPNPB atau warga sipil kan belum ada. Media selalu kutip pertanyaan TNI/Polri tanpa konfirmasi terlebih dahulu,” ujarnya.
Giay juga mengkritik semakin banyaknya penempatan pasukan TNI/Polri dari luar Tanah Papua ke Tanah Papua, khususnya sejak orang Papua memprotes insiden ujaran rasisme di Surabaya pada 2019. Ia menilai selama empat tahun terakhir, Pemerintah Indonesia telah secara berlebihan menggunakan kekuatan aparat keamanan di Tanah Papua.
“Mereka menggunakan kekuatan keamanan untuk membungkam demokrasi, suara-suara kritis, serta mengedepankan kekuatan dan pendekatan keamanan yang berlebihan. Dalam konteks itu, orang Papua dianggap separatis, jadi semua orang dong bunuh tangkap sebagai KKB. Dari mana dia [aparat keamanan] tahu [orang] itu KKB? Dari [mana] dia [aparat keamanan] bisa membedakan warga sipil dari KKB? Dari mana?” Giay bertanya.
Giay mengingatkan kekerasan aparat keamanan di Tanah Papua justru akan semakin mengaburkan fakta konflik Papua. Kekerasan yang digunakan dalam proses interograsi misalnya, bisa membuat korban membuat pengakuan apapun karena ingin penyiksaan yang dialaminya segera usai.
“Dan proses interogasi, jangan sampai mereka paksakan untuk mengaku sebagai bagian dari KKB. Bisa saja itu terjadi. Karena [yang menjadi aparat keamanan] orang [yang] baru [ditempatkan di Tanah Papua], jadi tidak mampu kejar TPNPB [Akhirnya], siapa saja yang ada di jalan itu ditangkap, lalu [dipaksa] mengaku itu KKB, setelah itu [aparat keamanan itu] pulang [dan] naik pangkat,” kata Giay.
Giay meminta seluruh informasi terkait kekerasan aparat keamanan di Tanah Papua diperiksa ulang, termasuk dengan melakukan pengecekan silang terhadap narasumber dari pihak keluarga korban, jaringan Gereja, maupun tokoh adat untuk menghimpun kebenaran. Hal itu penting dilakukan agar aparat keamanan tidak memakai tuduhan bahwa korbannya anggota TPNPB sebagai cara untuk menghindari pertanggungjawaban hukum. (*)
Artikel ini sudah terbit di jubi.id