Jayapura, Jubi- Anak adat di Tanah Papua, khususnya di wilayah Biak Numfor, terutama yang berbahasa Byak, sudah pasti akan mengetahui sejarah dan asal-usul keretnya. Termasuk nama adat dan identias dari tanah leluhurnya. Karena pengetahuan itu bagian dari penjagaan dan perlindungan warisan tanah leluhur.
“Sangat ngawur kalau anak adat tidak tahu asal-usulnya, kemudian berbicara atas nama masyarakat adat. Oleh karena itu, anak adat yang benar harus mengetahui sejarah dan asal-usul keretnya,” kata Apolos Sroyer, ketua Dewan Adat Byak atau Manfun Kankain Karkara Byak (KKB).
Menurut Apolos Sroyer yang dihubungi Jubi, Selasa (5/4/2022), selama ini KKB sudah menjalankan semua program dan kegiatan, terutama untuk melindungi hak-hak adat dari setiap klen di kampung-kampung.
“Kami menfasilitasi semua kegiatan dan mendukungnya, saat ini kami ada bersama masyarakat di Kepulauan Padaido, termasuk tanah adat Warbon milik keret Abrauw,” kata Sroyer.
KKB, katanya, saat ini juga bekerja sama dengan berbagai pihak, terutama akademisi dari Universitas Cenderawasih untuk mengembangkan lembaga Biakologi di Biak Numfor.
“Biakologi ini penting karena menyangkut seluruh aspek kehidupan dan budaya, termasuk pengembangan bahasa Byak ke depan,” katanya.
Dia juga berjanji akan melakukan identifikasi tentang obat-obatan tradisional dan kerajinan noken dan tikar di Biak agar masyarakat adat bisa mendapatkan hak intelektual sebagai pemilik, karena warisan turun-temurun.
“Misalnya daun sampare yang sudah diproduksi, minyak pandemor, dan lainnya adalah hak intelektual dari orang-orang tua di Biak dalam memanfaatkan potensi alam di sekitarnya,” katanya.
Sroyer berharap potensi yang dimiliki kawasan Byak di kampung-kampung muncul dari inisiatif masyarakat adat sendiri. Bukan mengerjakan kerajinan tangan seperti noken dan lain-lain sebagai proyek semata yang selesai proyek semua hilang.
“Mestinya masyarakat adat sendiri yang berinisiatif mengembangkan diri dan potensi, terutama anyaman tikar, noken, dan sebagainya,” ujarnya.
Ia mengatakan KKB selalu melakukan sidang adat dan peradilan adat soal sengketa tanah.
“Kecuali masalah perzinahan atau masalah keluarga di kampung, bisa diselesaikan oleh Mananwir Mnu di kampong masing masing atau juga melibatkan wilayah atau setiap Bar,” katanya.
Dualisme KKB
Menanggapi dualisme KKB di Kabupaten Biak Numfor, Sroyer mengatakan akan memberikan pernyataan resmi terkait soal itu.
”Namun yang jelas anak-anak adat yang benar sudah pasti tahu sejarah dan mengenal betul keret mana yang mananwir mnu di kampong masing-masing,” katanya.
Apalagi menurut Sroyer, KKB yang dipimpinnya selalu dekat dengan masyarakat adat di kampung dengan program yang jelas untuk melindungi dan menjaga warisan nenek moyang di atas tanah leluhur.
“Semesta alam tahu dan menyaksikan bahwa anak anak adat yang tahu adat dan sejarah serta keretnya selalu dilindungi dan dijaga para leluhur,” ujarnya.
Sebelumnya dalam suatu pertemuan di Jakarta, tim jurnalis yang berkolaborasi dengan Jubi, antara lain Majalah TEMPO, Suara.com, dan Project Multatulis mewawancarai Bupati Biak Numfor Harry Nap.
Harry Nap mengatakan telah melakukan pendekatan kepada masyarakat adat dalam merencanakan pembangunan Bandara Antariksa di Kampung Saukobye. Bupati juga mengatakan yang menolak adalah beberapa orang yang tidak tinggal di Biak.
”Memang benar mereka orang Biak, tapi tinggalnya di kabupaten lain, lahirnya di kabupaten lain, terus pergi sekolah di Jayapura, lalu mulai mengkritisi. Jadi tidak tinggal di Biak, tidak lahir di Biak, tidak besar di Biak, tapi komplain bagian ini,” katanya. Menurut Bupati Biak Numfor mereka yang komplain mengatasnamakan lembaga masyarakat adat.
”Saya harus katakan bahwa yang berhak berbicara atas nama masyarakat adat saat ini, ketua adat kami adalah Junus JK. Mandibondibo. Hari ini yang berbicara terus menerus adalah Bapak Apolos Sroyer yang dikatakan sebagai ketua Dewan Adat. Faktanya bukan beliau,” kata Nap.
Antara.com memuat berita pada Senin, 17 Mei 2021 tentang diadakannya sidang pleno istimewa yang dihadiri para mananwir dari 8 bar (wilayah). Sidang itu menetapkan menetapkan Junus JK. Mandibodibo sebagai pelaksana tugas Manfun Kawasa Biak (pemimpin suku Biak) periode 2017-2022 dan Garied Jean Rumbarar sebagai Plt Sekretaris Kankain Karkara Byak untuk masa jabatan 2017-2022.
Jenis-jenis pemimpin di suku Byak
Antropolog Dr JR Mansoben, MA membagi sistem kepemimpinan politik tradisional di Papua dan kesatuan masyarakat kecil yang secara politis dan ekonomis mempunyai otonomi penuh di kalangan suku bangsa Byak, yaitu berada di wilayah mnu atau kampong.
“Kampung merupakan suatu segmen yang terbagi dalam keret-keret atau klen-klen kecil dan selanjutnya dalam sim-sim atau keluarga-keluarga batih,” katanya kepada Jubi di kediamannya beberapa waktu lalu.
Lebih lanjut, antropolog lulusan doktoral Universitas Leiden Negeri Belanda tersebut mengatakan dasar-dasar yang menyatukan para warga suatu kampung adalah karena faktor kesamaan keturunan dan kepentingan ekonomi dan politik.
“Selain unsur-unsur fisik seperti penduduk, bangunan berapa rumah keret, aberdado, rumah-rumah upacara, rumsram, dan wilayah tertentu yang jelas batas-batasnya yang merupakan ciri-ciri nyata satu komunitas yang disebut mnu atau kampung,” katanya
Kemudian unsur lain yang bukan unsur fisik, tetapi penting sehingga mendapat perhatian khusus adalah unsur kepemimpinan masyarakat dalam kampung.
“Satu kampung dibentuk oleh penduduk yang berasal dari satu atau lebih keret. Masing-masing keret itu dikepalai oleh seorang pemimpin yang disebut mananwir keret,” katanya.
Ia mengatakan tugas seorang mananwir yang pertama adalah sebagai kepala dan hakim yang menangani berbagai urusan yang menyangkut kepentingan warga golongannya sendiri, misalnya sebagai kepala untuk mengatur izin penggunaan tanah hak milik keret di antara warga anggota keret dan sebagai hakim untuk menyelesaikan berbagai sengketa yang timbul antara warga keret sendiri.
Tugas kedua sebagai wakil golongannya sendiri untuk menangani masalah-masalah yang menyangkut kepentingan golongannya dengan golongan lain dalam kampung dan bersama-sama dengan mananwir-mananwir dari keret-keret lain menjaga dan mengawasi kepentingan warga kampungnya terhadap pihak luar atau kampung lain.
Kedudukan menjadi mananwir atau kepala keret, kata Mansoben, tidak didasarkan atas umur, tetapi ditentukan oleh kemampuan memperjuangkan kepentingan golongan, dan kerelaan mengorbankan diri demi kepentingan anggota warga keret.
“Selain itu, seorang mananwir mnu memiliki pengetahuan luas tentang aturan-aturan yang berlaku dalam keret,” ujarnya.
Kemudian Mananwir mnu harus mempunyai pengalaman yang lebih banyak dibandingkan dengan anggota lain dari keret-nya, seperti sering mengikuti ekspedisi pelayaran dan perang ke tempat-tempat yang jauh dan pandai berbicara di muka umum.
Kedudukan seorang mananwir di antara saudara-saudaranya adalah sebagai primus inter pares dan kedudukan tersebut tidak diteruskan oleh anak laki-laki sulungnya, melainkan oleh salah seorang adik laki-lakinya.
“Apabila tidak ada adik laki-laki maka kedudukan itu dapat diemban oleh anak laki-laki sulung jika yang bersangkutan memenuhi syarat-syarat yang dituntut untuk kedudukan tersebut,” katanya.
Di atas kepala keret, pada tiap mnu atau kampung terdapat seorang kepala yang disebut mananwir mnu. Seorang mananwir mnu tidak dipilih, melainkan diangkat oleh penduduk kampung dari salah seorang mananwir keret berdasarkan dua kriteria.
Kriteria pertama berdasarkan sejarah asal-usulnya, yaitu harus berasal dari golongan keret pendiri kampung. Kriteria kedua berdasarkan kemampuan dari salah seorang mananwir yang melebihi kemampuan yang ditunjukkan oleh mananwir lain dalam lingkungan kampungnya.
“Kriteria terakhir ini lebih penting dari kriteria pertama, karena seseorang mananwir yang berasal dari golongan manseren mnu atau keret pendiri kampung jika tidak memenuhi kriteria kedua, maka ia tidak dapat diangkat menjadi mananwir mnu,” katanya.
Walaupun demikian, kata Mansoben, seorang kepala yang berasal dari keret pendiri kampung tetap mempunyai wewenang untuk mengatur hal-hal yang berhubungan dengan penggunaan tanah dan pemanfaatan hasil-hasil hutan dalam wilayah kekuasaan kampungnya.
Pengutamaan jenis kemampuan yang diharapkan dari seorang pemimpin, kata Mansoben, cenderung berubah-ubah sesuai dengan kepentingan kelompok yang pada gilirannya ditentukan oleh situasi tertentu.
Pada waktu perang kedudukan seorang pemimpin kampung didasarkan atas keberanian memimpin perang, disebut mambri. Pada waktu keadaan ekonomi memburuk, kedudukan tersebut didasarkan atas kemampuan hubungan ekonomi, manibob (rekan dagang).
“Pada pada waktu krisis moral atau bencana wabah, kedudukan tersebut didasarkan atas kemampuan sebagai mediator antara orang hidup dan orang mati, mon atau konor,” katanya.
Lebih lanjut, kata Mansoben, kedudukan mananwir mnu adalah sebagai kepala atas kepala-kepala keret lain dalam kampung.
Tugasnya mengkoordinasikan kepala-kepala keret bersama tokoh-tokoh masyarakat lain dalam pengambilan keputusan tertentu menyangkut kepentingan komunitas kampung.
“Keputusan diambil lewat lembaga masyarakat yang disebut kainkain karkara mnu atau seriar mnu, serta memimpin dengan langsung pelaksanaan keputusan tersebut,” ujarnya.
Daun khusus untuk pemimpin perang
Bagaimana peran tokoh-tokoh masyarakat yang tampil sebagai pemimpin kampong, mananwir mnu?
Mansoben dalam disertasinya di Universitas Leiden Belanda yang berjudul “Sistem Politik Tradisional di Irian Jaya, Indonesia: Studi Perbandingan” (1994) menyebutkan manseren mnu sebagai mananwir mnu di tiap mnu (kampung).
Tiap mnu atau kampung terdiri dari satu atau beberapa keret atau klen kecil. Klen-klen kecil itu dibedakan atas dua golongan, yaitu golongan pendiri kampung, manseren mnu, dan golongan pendatang.
“Masing-masing klen kecil mempunyai seorang kepala yang disebut mananwir dan di antara mereka bertindak seseorang sebagai kepala kampung yang disebut mananwir mnu,” tulisnya.
Karena itu, seorang kepala dari golongan manseren mnu yang pandai berorganisasi memiliki pengetahuan tentang upacara-upacara adat, serta berani dan pandai membangkitkan semangat hidup anggota komunitasnya.
“Hal ini membuat seorang manseren mnu mempunyai kemungkinan yang lebih besar diangkat sebagai kepala kampung atau mananwir mnu, dibandingkan dengan seorang kepala lain yang memiliki tingkat kemampuan yang sama, tetapi bukan berasal dari golongan manseren mnu atau keret pendiri kampung,” katanya.
Selain kedudukan kepala dalam pemerintahan kampung yang dipegang oleh seorang berasal dari golongan manseren mnu, kedudukan tersebut dapat diemban oleh seseorang yang bukan berasal dari golongan tersebut.
Mansoben lebih lanjut memberikan uraian singkat tentang mananwir mnu, pemimpin kampung, yang bukan di dasarkan atas keturunan, melainkan atas dasar keahlian tertentu. Misalnya pemimpin perdagangan sebagai mananwir mnu.
Sebab kehidupan penduduk di daerah Biak-Numfor pada masa lampau sangat dipengaruhi oleh keadaan lingkungan alam yang relatif kurang subur.
“Kendala ini menyebabkan penduduk tidak menggantungkan kehidupannya semata-mata pada hasil pertanian, melainkan juga pada jenis mata pencaharian lain seperti berdagang,” katanya.
Dalam sistem berdagang itu individu-individu yang berhasil memimpin warga komunitasnya untuk melakukan suatu ekspedisi perdagangan (faduren) muncul sebagai mananwir mnu atau pemimpin masyarakat di kampungnya.
“Biasanya orang yang berhasil untuk memimpin suatu ekspedisi perdagangan adalah orang yang mempunyai hubungan manibob atau teman dagang di tempat lain,” katanya.
Menurutnya pengakuan terhadap kemampuan memimpin seseorang dengan kualifikasi seperti ini bersumber dari harapan dan penghargaan yang diberikan kepadanya.
“Karena di bawah pimpinannya warga kampung dapat berhubungan dengan pihak lain untuk memperoleh berbagai kepentingan yang tidak terdapat dalam lingkungannya sendiri,” katanya.
Selain itu, karena berkat jasanya warga kampung dapat diselamatkan dari bahaya tertentu, misalnya bahaya kelaparan atau bahaya perang.
Lainnya adalah Mambri atau pemimpin perang sebagai pemimpin. Dalam pemerintahan tradisional di daerah ini terdapat juga individu-individu yang dapat muncul sebagai pemimpin masyarakat atas dasar kualifikasi mambri atau pemimpin perang.
Orang-orang yang mendasarkan kekuasaannya atas kualifikasi ini sekaligus memiliki sifat berani dan kejam. Di samping itu mereka juga memiliki pengetahuan mengenai strategi perang dan kemampuan untuk menyatukan dan membangkitkan semangat pengikut-pengikutnya.
“Sejak masa remaja para pemimpin perang ini diberi makan sejenis daun yang disebut ui mambri,” katanya.
Menurut kepercayaan orang Biak, daun tersebut dapat memberikan tenaga dan keberanian besar kepada siapa yang memakannya. Nama ui mambri adalah nama umum untuk beberapa jenis daun yang menurut kepercayaan orang Biak mengandung khasiat-khasiat tertentu.
Misalnya memberikan keberanian kepada orang dalam arti percaya diri untuk bertindak dengan keras terhadap lawan dan juga mengandung kekuatan untuk menyembuhkan luka-luka berat yang diderita ketika bertempur.
“Jenis-jenis tanaman yang tergolong dalam ui mambrl itu hanya diketahui oleh orang-orang tertentu saja, tidak oleh umum. Daun tersebut diberi makan hanya kepada anak-anak,” katanya.(*)