Jubi TV– Ketua Kelompok Khusus DPR Papua, John NR Gobai mempertanyakan perkembangan proses penyempurnaan Naskah Akademik untuk menyusun Rancangan Peraturan Daerah Khusus tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Papua. Menurutnya, Gubernur Papua telah menunjuk Universitas Cenderawasih untuk menyempurnakan Naskah Akademik itu, namun hingga kini DPR Papua belum mengetahui hasilnya.
Hal itu disampaikan John NR Gobai saat dihubungi melalui panggilan telepon pada Jumat (4/3/2022). “DPR Papua telah memproses Naskah Akademik itu, selanjutnya Gubernur Papua memberikannya kepada Universitas Cenderawasih untuk membahasnya,” kata Gobai.
Gobai menjelaskan Naskah Akademik itu disusun sebagai bahan menyiapkan Rancangan Peraturan Daerah Khusus (Perdasus) tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR). Naskah Akademik itu disusun melalui sejumla diskusi dengan organisasi masyarakat sipil dan akademisi, hingga akhirnya dibahas Badan Pembentuk Peraturan Daerah DPR Papua pada 2019 dan diteruskan kepada Gubernur Papua.
“Saya pengusulnya. Sebagai pengusul saya menyadari bahwa kewenangan pembentukan KKR mengacu kepada Undang-undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Papua. Pasal 46 undang-undang itu menyatakan bahwa pembentukan KKR atas usul Gubernur Papua, dibentuk melalui Keputusan Presiden,” kata Gobai.
Menurut Gobai, isi Undang-undang Nomor 2 Tahun 2021 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua (UU Revisi UU Otsus Papua) memang mengubah sejumlah kewenangan Otonomi Khusus Papua. Akan tetapi, UU Revisi UU Otsus Papua itu tidak menghilangkan kewenangan yang berkaitan dengan penyelesaikan kasus pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) di Papua.
“Pasal-pasal tentang pelanggaran HAM masih utuh. Sekarang harus [ada yang] menyusun draft Rancangan Perdasus tentang KKR, dan menyerahkan ke DPR Papua untuk dibahas, dan ditindaklanjuti Pemerintah Provinsi Papua dan pemerintah pusat,” kata Gobai.
Gobai mengingatkan Undang-undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Papua (UU Otsus Papua) ada dan lahir sebagai jawaban atas sejarah kekerasan yang terjadi di Tanah Papua sejak integrasi. Itulah mengapa UU Otsus Papua itu mengatur pembentukan KKR, Pengadilan HAM, dan Komnas HAM Perwakilan Papua. Akan tetapi, tidak ada upaya tertulis dari pemerintah pusat untuk menjalankan mandat UU Otsus Papua itu.
“Dalam implementasinya, Bab XII UU Otsus Papua tentang HAM itu baru satu [yang direalisasikan, yaitu] pembentukan perwakilan Komnas HAM. Yang belum terealisasi yaitu pembentukan Pengadilan HAM dan KKR.
Pasal 46 ayat (2) UU Otsus Papua telah merinci dengan tegas tugas KKR di Papua. KKR itu bertugas melakukan klarifikasi sejarah Papua serta merumuskan dan menetapkan langkah-langkah rekonsiliasi.
Gobai mengatakan, secara aturan memang pembentukan KKR tidak bisa disiapkan dengan Perdasus tentang KKR. Akan tetapi, pemerintah pusat tidak kunjung menjalankan perintah UU Otsus Papua untuk membentuk KKR, dan jika tidak ada upaya dari orang Papua, maka KKR tidak akan terbentuk.
“Apa yang dibuat oleh saya itu sesuai dengan amanat UU Otsus Papua. Setelah saya buat [Naskah Akademik draft Raperdasus KKR] kemudian [itu] menggugah Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD. Menurut beliau, untuk di Papua memang perlu dibentuk KRR,” kata Gobai.
Memperbaiki citra Indonesia
Gobai juga menegaskan bahwa menyelesaikan berbagai kasus pelanggaran HAM di Papua—termasuk dengan membentuk KKR—tidak akan meruntuhkan Indonesia. Sebaliknya, upaya itu justru akan memperbaiki citra Indonesia di mata dunia internasional.
“Menyelesaikan kasus pelanggaran HAM di Papua itu tidak akan meruntuhkan negara. Citra negara [justru] akan baik. Jadi pemerintah pusat jangan siibuk pemekaran. Coba sibuk juga dengan penyelesaian pelanggaran HAM di Tanah Papua. KKR Papua sangat penting,” kata Gobai.
Gobai menyatakan keengganan menjalakan mandat UU Otsus Papua untuk membentuk KKR dan Pengadilan HAM di Papua justru akan memperburuk citra Indonesia di muka dunia internasional. Apalagi saat ini Indonesia tengah menghadapi sorotan dari Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), terutama untuk menjelaskan situasi HAM di Papua yang dinilai memburuk.
“Dengan desakan PBB kepada indonesia itu, bisa menjadi pintu masuk bagi Pemerintah Provinsi Papua dan pemerintah Indonesia [untuk] dapat membuka peluang [pembentukan] KKR bagi orang Papua. [Itu penting] untuk menyelesaikan kasus pelanggaran HAM di Tanah Papua,” katanya.
Direktur Urusan Internasional Dewan Gereja Dunia (WCC), Peter Prove menyatakan pihaknya terus memantau situasi HAM dan situasi kemanusiaan di Tanah Papua. Prove menyatakan pemerintah Indonesia gagal menangani dan memperbaiki situasi kemanusiaan dan HAM di Tanah Papua.
“Tanah Papua – dua provinsi Indonesia yang terdiri berada di bagian barat pulau New Guinea – telah menjadi fokus perhatian WCC sejak lama. Situasi [ancaman] hak asasi manusia dan kemanusiaan yang terus-menerus
Prove mencatat bahwa kegagalan Jakarta untuk memenuhi janjinya kepada rakyat Papua telah mengakibatkan peningkatan oposisi lokal terhadap Indonesia.
“Apa yang telah kita lihat selama beberapa dekade adalah tingkat pelanggaran hak asasi manusia yang sangat tinggi. Termasuk pembunuhan di luar proses hukum, penolakan kebebasan berekspresi dan berkumpul, serta banyak pelanggaran lainnya,” kata Prove. (*)