Jayapura, Jubi TV– Aktivis Disabilitas Fisik Paulina Usior, berharap Peraturan Daerah atau Perda yang memihak penyandang disabilitas di Tanah Papua, benar-benar bisa dijalankan dengan baik.
Menurut Paulina, jika memang ada Perda yang sudah ditetapkan kenapa instansi seperti Dinas Perhubungan, Dinas Pendidikan, Dinas Kesehatan, dan dinas-dinas lainnya tidak menjalankan peraturan itu.
“Mungkin ada kerjasama antar instansi di Provinsi Papua, ada program kerja yang jelas dan memihak kepada kami para disabilitas di Papua agar kami bisa merasakan dampak dari Perda tentang disabilitas tersebut, seperti yang dirasakan teman-teman disabilitas di Ujung Pandang,” kata Usior.
Menurut Paulina Pemerintah di Ujung Pandang itu sangat memperhatikan kaum disabilitas. Program kerja mereka sangat menolong kaum disabilitas di sana dan mereka dapat mengakses fasilitas umum dengan mudah.
Sementara penyandang disabilitas di Papua belum merasakan hal yang sama. Misalnya harga tiket kapal masih disamakan dengan orang normal. Untuk pekerjaan pun penyandang disabilitas masih sangat sulit mengakses dunia pekerjaan. Demikian juga dengan juga fasilitas kesehatan.
“Teman-teman disabilitas di Ujung Pandang itu diberikan semacam kartu identitas, khusus untuk disabilitas dan itu dapat dipakai untuk mengakses fasilitas umum secara gratis,” kata Paulina.
Paulina mengatakan sebenarnya yang diharapkan para penyandang disabilitas itu adalah bantuan jangka panjang, seperti dibukanya lapangan pekerjaan untuk para disabilitas fisik. Dan mungkin ada satu yayasan yang dibentuk khusus untuk menyatukan para disabilitas fisik.
“Bisa juga pemerintah bekerja sama dengan pihak swasta, jadi kami para disabilitas yang punya ketrampilan bisa bekerja sama dengan Telkom, PLN, dan perusahaan swasta lainnya,” ujarnya.
“Misalnya Dinas Sosial dan pihak swasta seperti Telkom. Teman-teman disabilitas fisik yang mahir service handphone, bisa buka usaha service handphone dan di support pihak Telkom,” tambahnya.
Lanjutnya, para penyandang disabilitas di Papua ini biasa di berangkatkan ke luar Papua untuk mengikuti pelatihan. Biasanya pelatihan itu berlangsung selama dua tahun. Tapi saat balik ke Papua mereka malah jadi gembel.
“Daripada kami dikirim ke luar Papua untuk mengikuti pelatihan, kenapa tidak dibuat di Papua saja pelatihannya, hal ini buat kami para disabilitas seakan-akan tidak dipedulikan oleh pemerintah Provinsi Papua,” ujarnya.
Selain permasalahan yang di sebutkan di awal, salah satu hal lagi yang selalu menjadi pergumulan para penyandang disabilitas ini adalah akses pendidikan bagi anak-anak mereka.
“Banyak teman-teman disabilitas fisik yang kewalahan untuk membiayai uang sekolah anak- anak mereka. Karena anak-anak kami itu terlahir normal, tidak mungkin kan mereka dimasukkan ke SLB,” ujarnya.
“Bisa dibayangkan kalau diantara teman-teman disabilitas fisik yang tidak memiliki keterampilan atau belum pernah mendapatkan kesempatan untuk mengikuti pelatihan, bagaimana nanti mereka bertahan hidup dan membiayai anak-anak mereka nantinya,” lanjutnya.
Menurut Paulina jumlah penyandang disabilitas fisik di kota dan kabupaten Jayapura mencapai 500 orang. Namun ia berharap ada pendataan ulang lagi terhadap penyandang disabilitas di kota dan kabupaten Jayapura karena banyak yang sudah meninggal.
“Kami sangat kewalahan untuk mendata teman-teman disabilitas karena keterbatasan kami,” ujarnya. (*)
Artikel ini sudah terbit di jubi.id