Jayapura, Jubi TV– Meski pasien poliklinik tiga rumah sakit pemerintah di Kota Jayapura terlantar atau hanya bisa mengakses dokter umum, Ketua Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia IDI Dr dr Mohammad Adib Khumaidi Sp OT mengatakan aksi mogok kerja para dokter spesialis dan subspesialis ketiga rumah sakit pemerintah itu tidak melanggar kode etik.
Hal itu dinyatakan Mohammad Adib Khumaidi kepada wartawan usai bertemu dengan para dokter di Kota Jayapura pada Jumat (1/9/2023) sore. Menurutnya, mogok kerja itu para dokter tidak meninggalkan pelayanan kepada masyarakat, tetapi upaya memperjuangkan hak profesi mereka.
“Secara etik, tidak ada permasalahan etik, dan secara hukum sah. Saya katakan itu tidak murni menghentikan pelayanan. [Para dokter yang mogok] hanya menghentikan pelayanan poliklinik yang ada di rumah sakit provinsi saja. Mereka tetap melayani [pasien] di rumah sakit swasta Kota Jayapura. Dan pelayanan kedaruratan, ICU, [maupun] operasi masih mereka lakukan,” kata Adib.
Pernyataan Adib itu terkait aksi mogok kerja yang dilakukan dokter spesialis dan subspesialis Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Jayapura, RSUD Abepura, dan Rumah Sakit Jiwa Daerah (RSJD) Abepura sejak Kamis (31/8/2023). Para dokter spesialis dan subspesialis ketiga rumah sakit pemerintah di Kota Jayapura itu mogok kerja karena TPP mereka dipangkas sejak Januari 2023.
Keputusan Menteri Kesehatan Nomor Hk.01.07/Menkes/545/2019 tentang Besaran Tunjangan Peserta Penempatan Dokter Spesialis dalam Rangka Pendayagunaan Dokter Spesialis merinci besaran tunjangan peserta penempatan dokter spesialis di Rumah Sakit Provinsi senilai Rp24.050.000 per bulan. Besaran tunjangan peserta penempatan dokter spesialis di Rumah Sakit Rujukan Regional nilainya Rp25.505.000 per bulan.
Sementara besaran tunjangan peserta penempatan dokter spesialis di Rumah Sakit Pemerintah Daerah lainnya senilai Rp27.043.000 per bulan. Para dokter spesialis yang mogok kerja menyatakan sejak Januari 2023 mereka hanya menerima TPP senilai Rp3.900.000 hingga Rp7.000.000.
Adib menyatakan Pemerintah Provinsi Papua harus segera membayar TPP dokter spesialis dan subspesialis sesuai Keputusan Kementerian Kesehatan tentang Pedayagunaan Dokter Spesialis. Menurut Mohammad peran dokter sangat penting dalam pelayanan kesehatan di Tanah Papua.
“Tolong pemerintah daerah segera selesaikan. Berikan hak sesuai dengan ketentuan yang sudah ada,” kata Adib.
Adib mengatakan permasalahan dokter spesialis di tiga rumah sakit Provinsi Papua sudah menjadi perhatian nasional. Ia mengatakan paramedis merupakan aset negara yang hak dan profesinya harus dibayar layak.
“Kami tidak bicara ini adalah gaji, TPP. Tapi itu adalah sebuah penghargaan profesi kepada mereka. [Para dokter harus] mendapatkan [haknya] sesuai dengan nilai dalam penghargaan profesinya,” ujarnya.
Menurut Adib, para dokter merupakan tenaga strategis sehingga pembayaran TPP seharusnya tidak bisa disamakan dengan Aparatur Sipil Negara (ASN) lainnya. Ia mengatakan Pemerintah Provinsi Papua dalam menyusun TPP bagi dokter spesialis dan subspesialis harus merujuk dalam Keputusan Kementerian Kesehatan.
“Kalau kami bicara kepentingan Sumber Daya Manusia, bicara seorang ASN [dokter] tidak bisa dinilai hanya sebagai eselon, itu tidak bisa. Dokter adalah tenaga strategis. Bukan kami minta eksklusivisme. Tapi, terkait dengan kepentingan kesehatan, apalagi khusus di Papua, itu harus menjadi perhatian bersama,” ujarnya.
Adib mengatakan IDI akan terus mengawal tuntutan para dokter spesialis dan subspesialis RSUD Abepura, RSJD Abepura dan RSUD Jayapura.
Pasien poliklinik terlantar
Mogok kerja para dokter spesialis dan subspesialis itu membuat sejumlah pasien poliklinik RSUD Jayapura dan RSUD Abepura terlantar. Meskipun Poliklinik RSUD Jayapura dan Poliklinik RSUD Abepura tetap buka pada Kamis dan Jumat, beberapa pasien yang ditemui di kedua rumah sakit tidak bisa mendapatkan pelayanan kesehatan, dan beberapa lainnya dilayani oleh dokter umum.
Salah satu kerabat pasien yang ditemui di RSUD Jayapura pada Jumat, Hardi (64) mengaku tidak mengetahui apabila dokter spesialis dan subspesialis RSUD Jayapura mogok kerja dan tidak memberikan pelayanan kesehatan di poliklinik. Padahal ia berangkat dari Arso 2, Kabupaten Keerom, Papua, sejak pukul 05.30 WP.
Ia mengatakan saat mengantre petugas Poliklinik tidak memberitahu dirinya bahwa dokter spesialis dan subspesialis sedang mogok kerja. “Tadi di [Poliklinik] tidak bilang dokter mogok. Jadi Saya tidak tahu,” kata Hardi saat ditemui di RSUD Jayapura, pada Jumat pagi.
Ia hendak berkonsultasi dengan dokter gizi terkait makanan bagi istrinya, Rukila. Hardi mengaku kecewa lantaran dokter spesialis gizi yang hendak ditemui tidak ada di klinik. “Ruangnya kosong blong, tidak ada orang,” ujarnya.
Hardi mengatakan istrinya sudah tiga bulan menderita sakit ginjal. Ia disarankan dokter spesialis urologi untuk berkonsultasi dengan dokter gizi terkait asupan makan bagi istrinya.
“Mau konsultasi ke dokter gizi. Kan istri saya kena ginjal. Otomatis pola makan harus diatur bagus. Yang tahu kan dokter gizi. Istri saya ditangani dokter ginjal dan dokter gizi. Tetapi kan dokter ginjal tidak berani merekomendasikan makan ini atau minum itu,” ujarnya.
Hardi mengatakan agar persoalan tuntutan pembayaran TPP dapat dikomunikasikan dengan baik antar para dokter dan Pemerintah Provinsi Papua. Walaupun demikian ia berharap para dokter spesialis dan subspesialis tetap melayani pasien.
“Sesuai dengan ketentuan harus dibayarkan. Cuma kalau memang duit belum ada, bisa dikomunikasikan dulu. Ini kan mogok, kasihan masyarakat yang sakit mau kontrol berobat tidak bisa. Harapannya tetap dilayani,” katanya.
Hardi akhirnya berencana untuk pergi ke RS Dian Harapan, untuk berkonsultasi dengan dokter gizi di sana. “Saya mau ke RS Dian Harapan saja lah,” ujarnya.
Sejak pukul 07.00 WP, Eta Demetouw (63) sudah mengantre di Poliklinik RSUD Jayapura. Ia berencana kontrol rutin sakit jantung dan paru, setelah sempat dirawat di RSUD Jayapura minggu lalu. Ia juga tidak mengetahui mogok kerja itu.
“[Saya] sempat diopname [dirawat di RSUD Jayapura] dan diperiksa ada komplikasi sakit jantung dan paru-paru,” ujar warga yang datang dari Depapre, Kabupaten Jayapura, itu saat ditemui di ruang Poliklinik RSUD Jayapura pada Jumat pagi.
Demetouw mengaku sudah seminggu kesulitan buang air besar. Ia mengatakan pada Kamis (31/8/2023) sempat datang ke RSUD Jayapura akan tetapi tidak ada pelayanan dokter spesialis dan subspesialis di poliklinik.
“[Saya] makan bagus, tetapi tidak bisa buang air besar. [Kamis] kemarin [saya] datang [ke RSUD Jayapura] jam 07.30 WP, tapi [terpaksa] pulang. Sudah di dalam [ruang poliklinik] tetapi disuruh pulang,” katanya.
Kerabat pasien Poliklinik RSUD Jayapura, Meka juga tidak bisa bertemu dengan dokter spesialis urologi. Ia sudah dua hari berturut-turut ke RSUD Jayapura untuk menemani ayahnya kontrol usai pengobatan batu ginjal, namun gagal bertemu dokter spesialis urologi. “Kemarin datang tetapi tidak ada pelayanan [dokter spesialis],” ujarnya.
Ayah Meka disarankan untuk berkonsultasi dengan perawat dan asisten dokter spesialis urologi. “Ini kan kontrol rencananya mau lepas selang, tetapi dari kemarin tidak ada pelayanan. [Hari ini kembali lagi] mau konfirmasi asisten dokter,” katanya.
Sejumlah pasien Poliklinik RSUD Abepura pada Kamis juga mengeluhkan mogok kerja para dokter spesialis dan subspesialis itu. Pasien jantung di RSUD Abepura, Yukia Hasan mengatakan ia tidak dapat bertemu dengan dokter spesialis jantung yang merawatnya, karena dokter itu tidak masuk kerja.
Padahal ia hendak melakukan kontrol rutin atas penyakit jantungnya. “Sudah satu tahun [saya] ini sakit jantung,” kata Yukia saat ditemui di RSUD Abepura pada Kamis.
Yukia mengatakan pada Kamis ia telah berada di RSUD Abepura sejak pukul 07.00 pagi. Pria 70 tahun itu mengaku baru mengetahui jika dokternya tidak masuk kerja setelah ia tiba di rumah sakit. “Saya tidak tahu kalau dokter lagi mogok,” ujarnya.
Padahal, Yukia disarankan oleh dokter spesialisnya agar tidak putus melakukan kontrol rutin sebulan sekali ke RSUD Abepura. Ia mengatakan obat penyakit jantungnya telah habis kemarin, sehingga harus kembali melakukan kontrol dan mengambil obat.
“[Untuk mendapatkan obat itu, saya] harus diperiksa dulu, baru dikasih obat. Kalau [diperiksa] dokter lain, tidak bisa, harus dokter spesialis jantung. [Saya diberi saran] jangan putus obat, kalau berhenti [minum obat] bisa kambuh lagi,” ujarnya.
Salah satu kerabat pasien Poliklinik RSUD Abepura pada Kamis, Anastaysa Manong mengeluhkan mogok kerja itu. “Saya tidak tahu. [Saya] baru mendaftarkan tante saya untuk berobat,” ujarnya.
Anastaysa mengatakan sudah sebulan ini tantenya, Olivia Manong menjalani terapi. Olivia dirujuk dari Puskesmas Koya Barat ke RSUD Abepura untuk menjalani terapi. “[Tante saya] jatuh di kebun, terus dirontgen ada saraf terjepit,” ujarnya.
Anastaysa akhirnya menelepon Olivia untuk tidak datang ke RSUD Abepura. “Terapi [itu seharusnya] setiap Selasa dan Kamis,” katanya.
Anastaysa mengatakan para dokter spesialis maupun subspesialis seharusnya tidak mogok kerja. Ia mengatakan masalah pemotongan TPP yang dihadapi para dokter seharusnya tidak menghentikan pelayanan mereka.
“Masalah itu [harus] segera diselesaikan. Masyarakat datang ini untuk berobat. Mereka tidak tahu kalau ada masalah,” katanya. (*)
Artikel ini sudah terbit di jubi.id dengan judul: Meski pasien terlantar, Ketua IDI sebut mogok kerja dokter spesialis tidak melanggar kode etik