Konflik bersenjata di Tanah Papua kian tereskalasi, khususnya di Nduga, Intan Jaya, Puncak, Yahukimo, Pegunungan Bintang, juga Maybrat. Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat atau TPNPB kian agresif menyerang TNI/Polri, antara lain karena makin banyaknya pasokan senjata dan peluru.
Jubi dan Project Multatuli berkolaborasi menelusuri lekak-lekuk peredaran senjata api dan amunisi di Tanah Papua, juga kian panasnya konflik bersenjata di sana. Tulisan ini merupakan bagian pertama dari tiga laporan kolaborasi peliputan tersebut.
Pada 21 Oktober 2020 siang itu, setelah sempat diperiksa sejumlah polisi dan petugas Bandar Udara Douw Aturure di Kabupaten Nabire yang kini menjadi bagian dari Provinsi Papua Tengah, Muhammad Jabir Hayan akhirnya keluar dari terminal kedatangan. Polisi itu membawa barang tentengannya, sebuah tas hitam yang berisi sepucuk senapan jenis M4 dan sepucuk senapan jenis M16 yang akan dijualnya.
Ia membawa kedua pucuk senjata api laras panjang itu menempuh perjalanan jauh dari Jakarta dengan pesawat penumpang komersial tujuan Timika yang sempat transit di Bandara Sultan Hasanuddin, Maros, Sulawesi Selatan. Di Timika, anggota Pasukan Gegana Satuan Perlawanan Teror Den A Brimob Kelapa Dua Depok itu berganti pesawat, hingga tiba di Bandar Udara Douw Aturure.
Kejutan menantinya di bandara itu, lantaran sejumlah petugas bandara dan polisi memeriksa tas senjata yang ia bawa. Jabir dilepas, diizinkan pergi membawa kedua pucuk senjata api laras panjang bawaannya keluar dari bandara, tapi ia mulai merasa was-was.
Di luar terminal kedatangan, ia mencari-cari penjemputnya, Didy Chandra. Didy adalah seorang anggota Persatuan Olahraga Menembak dan Berburu Indonesia (Perbakin) Nabire yang dikenal Jabir sejak 2017. Saat bertemu Didy, Jabir tak banyak bertukar kata, segera naik ke sebuah mobil putih yang dibawa Didy, dan pergi meninggalkan bandara.
Dalam perjalanan itu, Jabir mendapati mobil yang ia tumpangi bersama Didy diikuti mobil lain. Tahu dirinya dibuntuti, Jabir menghubungi Fuad Ari Setyadi, seorang mantan Bintara Pembina Desa Komando Rayon Militer 1705-06/Moenamani yang dipecat karena disersi. Fuad adalah paman Didy Chandra.
Jabir bercerita bagaimana ia sempat diperiksa petugas Bandara Douw Aturure. Tas senjata yang ia bawa pun dibuka, petugas bandara dan sejumlah polisi sempat memotret senapan jenis M4 dan sepucuk senapan jenis M16 yang ada di dalamnya. Jabir juga menuturkan bahwa kini mobilnya bersama Didy dibuntuti mobil lain.
Mendengar cerita itu, Fuad Ari Setyadi pun merasa tak tenang. Ia menyarankan agar Jabir Hayan membatalkan saja rencana transaksi jual-beli senjata api yang dibawanya. Fuad menyarankan Jabir membawa kedua pucuk senjata api laras panjang itu kembali ke Jakarta.
Perdagangan Senjata di Tanah Papua
Di dalam mobil, Jabir dan Didy mencari cara mengelabuhi para penguntitnya. Jabir meminta Didy membawa mobilnya memasuki Markas Kepolisian Resor (Polres) Nabire. Entah mereka bertemu siapa di sana.
Setelah beberapa saat, mobil Didy keluar markas Polres Nabire, dan berkeliling di Nabire. Didy lantas mengajak Jabir mendatangi rumah Wakil Komandan Batalion C Brimob Nabire, AKP Jhoni Samonsabra.
Kepada Samonsabra, Didy dan Jabir menjual cerita bahwa Jabir baru usai melakukan survey rencana pengamanan tamu VIP di Timika, dan bermaksud menitipkan senjata api laras panjang M4 dan M16 berikut magazin kedua senjata itu di Gudang Batalion C Brimob Nabire.
Alasannya, karena Jabir akan menginap di hotel, dan merasa tak nyaman membawa-bawa senjata ke hotel. Samonsabra pun setuju, dan meminta anggota Brimob yang bertugas di gudang senjata mengambil dua senjata api laras panjang yang dibawa Jabir dari Jakarta, mengamankannya di gudang senjata.
Didy, Jabir, Samonsabra dan Fransiskus Kia Tapun lantas pergi ke Hotel Mahavira di Nabire. Di sana, Jabir langsung mengurus kamar untuk bermalam di hotel itu, sementara Didy, Samonsabra, dan Fransiskus menunggu di restoran hotel.
Selama selang waktu itu, sejumlah polisi datang ke restoran itu, menemui Didy, Samonsabra, dan Fransiskus. Jubir yang menyusul datang ke restoran itu kaget melihat orang yang mengikutinya sejak dari Bandara Douw Aturure sudah ada di sana.
Sekira 15 menit kemudian, Wakil Kepala Kepolisian Resor (Wakapolres) Nabire Kompol Samuel D Tatiratu datang ke restoran Hotel Mahawira dengan dikawal ajudannya. Tanpa banyak basa-basi, Tatiratu meminta Jabir, Didy, Samonsabra, dan Fransiskus ikut ke Markas Polres Nabire, dengan alasan ingin berkoordinasi di sana.
Tak punya banyak pilihan, Jabir dan Didy bersama Samonsabra dan Fransiskus pun ikut ke Markas Polres Nabire. Di ruang kerjanya, Kompol Samuel D Tatiratu memberitahu Samonsabra dan Fransiskus bahwa Jabir Hayan membawa dua pucuk senjata api laras panjang tanpa disertai surat izin.
Tatiratu kemudian memerintahkan anak buahnya mendatangi Gudang Senjata Batalion C Brimob Nabire, mengambil M4 dan M16 yang dibawa Jabir dari Jakarta. Jabir dan Didy pun ditahan dengan sangkaan memperdagangkan senjata api untuk kelompok bersenjata di Papua, hingga perkaranya dilimpahkan ke pengadilan.
Cuma salah satu pintu
Cerita itu bukan kisah fiksi sebuah film spionase. Cerita itu adalah isi Putusan Pengadilan Negeri Nabire atas perkara jual-beli senjata api yang didakwakan kepada Muhammad Jabir Hayan. Melalui putusan yang dibacakan pada 31 Maret 2021 itu, majelis hakim Pengadilan Negeri Nabire menyatakan Jabir Hayan terbukti bersalah melakukan tindak pidana turut serta memperjualbelikan senjata api secara terus menerus, dan menjatuhkan hukuman pidana penjara enam tahun.
Putusan nomor 18/Pid.Sus/2021/PN Nab juga mengurai bagaimana Jabir Hayan sejak 2017 bolak-balik Jakarta – Papua hingga sembilan kali. Dari seluruh perjalanan itu, Jabir berhasil membawa 14 pucuk senjata api dari Jakarta yang ia jual kepada Fuad Ari Setyadi dan Didy Chandra.
Dari putusan perkara Didy Chandra yang terdaftar di Pengadilan Nabire dengan nomor perkara 20/Pid.Sus/2021/PN Nab, tersaji informasi bagaimana Jabir Hayan berperan sebagai pencari senjata api pesanan Fuad dan Didy. Jabir memperolehnya berbagai senjata api dan peluru dari sejumlah pihak berbeda. Putusan itu juga merinci ke mana saja 14 pucuk senjata api yang ditentang Jabir Hayan dari Jakarta dijual.
Pada 2017 misalnya, senjata api M4 yang dibawa Jabir Hayan dari Jakarta diserahkan kepada seorang tokoh agama setempat, dan sepucuk pistol kaliber 22 milimeter diserahkan politisi lokal.
Pada akhir 2017, Jabir Hayan membawa sepucuk M16 ke Nabire, yang lantas berpindah tangan kepada anggota DPRD setempat. Pada Maret 2018, Jabir membawa sepucuk M4 dan sepucuk pistol kaliber 380 yang akhirnya diserahkan kepada dua politisi lokal.
Pada Juli atau Agustus 2017, Jabir membawa lagi sepucuk M16 dan sepucuk M4 ke Nabire, dan kedua senjata itu beralih tangan ke seorang politisi lokal dan seorang tokoh agama. Pada Oktober 2019, Jabir juga menenteng sepucuk M4 ke Nabire yang kemudian diserahkan kepada seorang politisi lokal.
Pada November 2019, Jabir membawa sepucuk M4 dan sepucuk pistol Glock. M4 itu akhirnya diserahkan kepada seorang politisi lokal, sementara pistol Glock disimpan oleh Didy Chandra. Sebulan kemudian, Jabir datang lagi ke Nabire dengan membawa sepucuk M4 dan menyerahkannya kepada seorang tokoh agama.
Petualangan Jabir Hayan berakhir pada 21 Oktober 2020, saat ia ditangkap Kepolisian Resor Nabire. Namun bukan berarti jaringan perdagangan senjata api dan amunisi di Tanah Papua berakhir.
Licahnya Jabir Hayan bolak-balik Jakarta – Nabire dengan membawa senjata api dan amunisi dari berbagai pemasok di Jakarta menjadi salah satu penjelasan bagaimana eskalasi konflik bersenjata terjadi di Tanah Papua. Insiden penembakan ataupun baku tembak terjadi di antara kelompok bersenjata Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPNPB) dan aparat TNI/Polri semakin kerap terjadi.
Dalam kurun waktu lima tahun terakhir, kelompok Egianus Kogoya menjadi faksi TPNPB yang paling aktif dan agresif. Ia merupakan Komandan Komando Daerah Pertahanan (Kodap) III Ndugama Darakma TPNPB.
Satuan Tugas Operasi Damai Cartenz Papua menyebutkan kelompok TPNPB yang dipimpin Egianus Kogoya ada sejak 2017. Sejumlah peristiwa penembakan khususnya di wilayah Nduga, semuanya dikaitkan dengan kelompoknya.
Pasukan Kogoya terlibat dalam beberapa aksi bersenjata seperti penembakan terhadap karyawan PT Istaka Karya di awal Desember 2018, berkali-kali kontak senjata dengan aparat TNI/Polri, sejumlah penembakan pesawat. Yang terbaru, kelompok Egianus Kogoya membakar pesawat Susi Air di Distrik Paro, Nduga, pada 7 Februari 2023.
Kelompok Egianus Kogoya juga menyandera pilot Susi Air yang bernama Kapten Philip Mark Merthens sejak 7 Februari 2023 hingga sekarang. Sejumlah upaya pencarian keberadaan pilot berkebangsaan Selandia Baru itu berujung dengan kontak senjata yang hebat, sejumlah prajurit TNI pun meninggal dunia dalam upaya itu.
Kelompok Kogoya diperkirakan telah memiliki lebih dari 20 senjata api, termasuk FN Minimi, Steyr AUG, dan pelontar granat GLM. Satuan Tugas Operasi Damai Cartenz menyatakan berbagai senjata itu merupakan hasil rampasan dari prajurit TNI atau polisi.
Salah satu kasus yang menonjol adalah kasus terbunuhnya Batalion D Brimob Wamena, Bripda Diego Rumaropen di Distrik Napua, Kabupaten Jayawijaya, Provinsi Papua Pegunungan, pada 18 Juni 2022. Peristiwa itu memunculkan kronologi janggal perampasan Styer AUG, sebuah senapan runduk (sniper) yang tergolong langka di Tanah Papua. Konon, setiap batalion Brimob hanya memiliki satu atau dua pucuk senjata khas itu.
Peristiwa itu bermula saat atasannya AKP Rustam ditelepon oleh seorang warga bernama Alex Matuan yang meminta Rustam menembak sapi miliknya di daerah Napua. Rustam lalu mengajak Rumaropen mendatangi Alex Matuan dengan membawa sepucuk Styer AUG dan sepucuk AK 101.
Pukul 15.20 WP, setelah sapi berhasil ditembak AKP Rustam menitipkan Styer AUG yang digunakannya menembak sapi tersebut kepada Bripda Diego Rumaropen. Rustam beralasan ingin mengecek sapi yang sudah ditembaknya. Rumaropen yang menunggu dengan membawa sepucuk Styer AUG dan sepucuk AK 101 tiba-tiba diserang dua orang tidak dikenal. Kedua pucuk senjata api laras panjang itu berpindah tangan dan kini dikuasai kelompok Egianus Kogoya.
Gara-gara peristiwa itu, AKP Rustam dipecat dari keanggotaannya di kepolisian. Bidang Profesi dan Pengamanan (Bidpropam) Polda Papua menggelar upacara Pemberhentian Secara Tidak Hormat (PTDH) AKP Rustam, pada Juli 2023 di Mapolda Papua.
Banyak pasukan kiriman, pasar senjata kian ramai
Akan tetapi, kelompok Egianus Kogoya bukan hanya mengandalkan senjata rampasan. Mereka diduga memiliki lebih banyak senjata yang didapatkan dari jaringan perdagangan senjata di Tanah Papua yang melibatkan orang-orang seperti Jabir Hayan ataupun Didy Chandra.
Bahkan, Jabir Hayan maupun Didy Chandra hanyalah salah satu pintu aliran senjata api dan amunisi ke Tanah Papua. Jubi dan Project Multatuli menjumpai Tenggara (bukan nama sebenarnya), salah satu orang yang pernah terlibat perdagangan senjata di Tanah Papua, berupaya memasok amunisi bagi kelompok Egianus Kogoya.
Tenggara bercerita bagaimana ia bisa membeli ratusan butir peluru dari Barat Laut, seorang kenalannya yang juga pernah menjadi prajurit TNI. Penuturan Tenggara yang mengaku awam tentang jenis senjata dan jenis peluru menggambarkan betapa besar perputaran uang bisnis senjata api dan amunisi di Tanah Papua.
“Beda harga untuk amunisi, ada yang Rp150 ribu rupiah per butir, ada yang Rp100 ribu per butir. Saya tidak kenal pelurunya, hanya beli, untuk senjata mana saya tidak tahu. Pistol dibeli dengan harga 30 juta rupiah, beli sama Barat Laut, kosongan. Amunisi yang dibeli untuk yang laras panjang ratusan butir, sedangkan peluru pistol puluhan butir,” katanya.
Uniknya, Tenggara mendapatkan uang pembelian senjata api atau amunisi yang bisanya bernilai ratusan juta rupiah dari sejumlah kepala kampung yang ia paksa menyisihkan Dana Desa mereka. Ada kepala kampung yang langsung menyerahkan sejumlah uang, namun tidak sedikit pula yang enggan menyisihkan uang untuk membeli senjata api.
Tenggara mengakui sejumlah kepala kampung harus dibujuk terus menerus agar mau menyisihkan Dana Desa untuk membeli senjata api atau amunisi bagi TPNPB. Bujuk rayu Tenggara tidak selalu berhasil.
“Ada satu [pengurus] desa yang meminta dikembalikan uangnya dan saya kembalikan, transfer kembali. Saya juga sempat ditipu sama oknum anggota, katanya ada senapan laras panjang dihargai Rp80 juta. Pas dibawa, memang dalam keadaan dibungkus rapi, lalu saya bayar. Pas dibuka ternyata hanya senapan angin biasa,” kata Tenggara.
Tenggara juga pernah mencoba mencari senjata api/amunisi di Papua Nugini. Buatnya, lebih mudah mencari senjata di Indonesia daripada di Papua Nugini.
“Saya dengar di Papua Nugini gampang dapat senjata, makanya saya ke sana. Tetapi nyatanya susah. Di Papua Nugini agak susah dapat amunisi dan senjata, lebih mudah di Indonesia. Polisi atau tentara yang jual, sama saja, yang penting ada uang,” katanya.
Cerita berbeda dituturkan Awan (bukan nama sebenarnya). Awan enggan mengakui ia terlibat jaringan perdagangan senjata api di Tanah Papua, namun ia mengakui menjadi perantara jual-beli senjata api. “Saya hanya perantara,” katanya.
Awan menuturkan dirinya ditokohkan, sehingga banyak tamu berkunjung ke rumahnya. Awan pun tidak punya alasan untuk menolak orang berkunjung ke rumahnya, meskipun kadang tidak mengenal siapa orang yang bertamu ke rumahnya.
Kepada Jubi dan Project Multatuli, Awan mengaku hanya dititipi uang oleh salah satu anggota kelompok bersenjata. Uang itu digunakan untuk membeli senjata yang ditawarkan seorang mantan prajurit TNI. “Pasokan senjata [itu katanya] dibawa dari luar Papua,” katanya, sambil menambahkan bahwa ia tidak tahu soal harga senjata maupun jumlah senjata yang ditransaksikan. Awan pun mengaku tidak tahu sumber dana pembelian senjata oleh TPNPB didapat dari mana.
Matahari (bukan nama sebenarnya) pernah divonis bersalah memperdagangkan amunisi senjata api, namun ia tidak mengakui bahwa ia terlibat jaringan perdagangan senjata di Tanah Papua.
Ia pun merasa penangkapannya tidak sah, lantaran tidak ada barang bukti peluru ataupun senjata api yang disita darinya. “Saat itu tidak ada surat penangkapan yang kepolisian kasih, sebagai bukti bahwa ini penangkapan. Saya juga mau tanya itu tetapi tiba-tiba langsung ditodong senjata. Saat ditangkap tidak ada barang bukti senjata atau amunisi,” katanya.
Matahari mengakui ia mengenal Bulan, seorang prajurit TNI yang saat itu masih aktif berdinas dan pernah menawarinya amunisi. Matahari didakwa berbisnis jual-beli senjata api dengan Bulan, namun Matahari mengelak ia pernah berbisnis senjata dengan Bulan.
Matahari dan Bulan akhirnya sama-sama divonis bersalah dan dihukum penjara. Namun Matahari tidak pernah bertemu Bulan di dalam penjara. “Dia sudah dibebaskan,” ujar Matahari.
Meski Matahari menegaskan ia ditangkap tanpa barang bukti senjata ataupun peluru, Matahari menilai upaya orang Papua mencari senjata dan peluru merupakan hak mereka sebagai orang Papua, dan hak itu tidak bisa dibatasi.
“Kalau penangkapan soal amunisi dan senjata itu masuk ke masalah ideologi, masalah hak sebagai orang Papua. Tetapi saat saya ditangkap tidak ada bukti. Apalagi soal dana untuk beli amunisi dari mana asalnya, saya tidak tahu sama sekali,” ujarnya.
Matahari justru mempertanyakan rentetan kejadian kekerasan bersenjata yang semakin marak terjadi di sejumlah wilayah di Tanah Papua. Ia berteori bahwa banyaknya penambahan pasukan TNI/Polri ke Tanah Papua justru menambah peredaran senjata api dan amunisi di sana.
Senada dengan pengakuan Tenggara, Matahari menyebut soal mudah tidaknya mendapatkan senjata dan amunisi bergantung kepada ada tidaknya uang.
“Invasi aparat [TNI/Polri di Papua] membuat peredaran amunisi dan senjata banyak di Papua. Jadi coba mulai saat ini stop, minta kepada pemerintah Indonesia untuk penarikan kembali pasukan nonorganik, kita lihat apakah peredaran senjata dan amunisi akan meningkat atau tidak,” kata Matahari.
Meskipun ia tidak dapat menyebut apakah TNI atau polisi yang bermain dalam jual beli senjata dan amunisi di Tanah Papua, Matahari menilai banyaknya penambahan pasukan ke Tanah Papua meningkatkan jumlah senjata dan amunisi di Papua. Peredaran senjata di kalangan anggota kelompok bersenjata TPNPB juga semakin banyak, baik melalui pembelian atau perampasan.
“Coba tarik pasukan, duduk dialog dan negosiasi untuk selesaikan masalah Papua, ini pendekatannya yang salah. Datang atas nama pembangunan, tetapi nyatanya warga sipil mati banyak, ini kenapa bisa terus terjadi?” katanya. (*)
Tim Kolaborasi Peliputan Project Multatuli dan Jubi
Bagian 1/3 Artikel ini sudah terbit di Jubi.id