Jayapura, Jubi TV – U.S. Holocaust Memorial Museum merilis laporan tentang Papua pada 21 Juli 2022 lalu. Laporan ini mensajikan kemungkinan Papua mengalami atrocities atau kekejaman masal dalam beberapa bulan kedepan.
Indonesia, dituliskan dalam laporan berjudul “Don’t Abandon Us”: Preventing Mass Atrocities in Papua, Indonesia, semakin padat penduduknya, kaya, dan berpengaruh secara politik, terlepas dari sejarah kekejaman massalnya. Dua provinsi paling timur di negara ini, Papua dan Papua Barat, adalah satu-satunya wilayah di negara ini yang terus mengalami konflik bersenjata dan ketidakstabilan politik yang signifikan. Dalam beberapa tahun terakhir, kekerasan antara penduduk asli Papua yang mendukung gerakan kemerdekaan Papua dan pemerintah Indonesia semakin meningkat. Meskipun kekerasan skala besar terhadap warga sipil tidak terjadi hari ini, tanda-tanda peringatan dini terlihat dan memerlukan perhatian kita.
“Saya tidak memberikan ramalan. Tapi saya melihat kondisi obyektif ini (di Papua) kalau tidak ditangani, kalau tidak ada intervensi dari semua pemangku kebijakan, termasuk pemerintah Indonesia, atrocities ini akan bisa terjadi dalam beberapa bulan kedepan,” kata Made Supriatna, penulis laporan ini.
Laporan tersebut menyebutkan Indonesia berada di posisi ke 27 pada daftar negara-negara di dunia yang berpotensi melakukan kekejaman massal.
Made Supriatna, peneliti di Simon-Skjodt Center Early Warning, mengakui faktor resiko structural bisa dilihat di Papua. Selain Indonesia, memiliki sejarah panjang kekejaman massal, secara struktural penduduk asli Papua disingkirkan dari pengambilan keputusan politik; eksploitasi sumber daya alam Papua oleh negara dan perusahaan multinasional Indonesia; pasukan keamanan Indonesia di wilayah tersebut telah terlibat dalam pelanggaran hak asasi manusia; hingga penduduk asli Papua dan pendatang Indonesia yang tinggal di Papua sering mengalami konflik atas masalah ekonomi, politik, agama, dan ideologi.
“Semua factor-faktor structural itu bisa diidentifikasi di Tanah Papua selain factor pemicu lainnya seperti perubahan sosial-politik besar yang menggeser keseimbangan kekuasaan, mengubah struktur insentif, dan semakin memecah kelompok,” kata Made Supriatna.
Faktor pemicu lainnya ini menurutnya sudah terlihat sangat jelas selama tiga tahun terakhir. Papua saat ini menuai protes, kerusuhan, dan mobilisasi komunal; meningkatnya perpecahan di antara Orang Asli Papua; dan peningkatan konflik bersenjata antara Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat dan aparat keamanan Indonesia.
“Factor utama yang paling menentukan dalam kesimpulan riset Made Supritana ini, adalah rasisme terhadap Orang Asli Papua (OAP),” ujar Pendeta Benny Giay, Moderator Dewan Gereja Papua.
Ia menegaskan sejak kasus rasisme Papua tahun 2019, negara tidak menunjukkan keinginan menuntaskan ini. Negara malah memberikan label teroris pada orang Papua, bukan hanya kelompok bersenjata untuk melegitimasi pengiriman pasukan besar-besaran ke Papua. Sementara pada saat yang sama negara mengamandemen UU Otsus dan membuat provinsi baru tanpa partisipasi rakyat Papua.
“Negara membiarkan praktek jual beli senjata antara kelompok bersenjata dengan anggota TNI dan Polri yang melestarikan kekerasan di Tanah Papua ini, yang pada akhirnya bisa berakibat fatal pada populasi OAP, selain factor pelayanan kesehatan yang minim dan sistem pendidikan yang kacau,” kata Benny Giay.
Namun riset U.S. Holocaust Memorial Museum ini dikatakan memiliki kelemahan metodologi.
“Tidak benar. Identifikasi research questionsnya salah. Penulisnya menerapkan memori Timor Timur dalam risetnya. Terbukti tidak sesuai dengan fakta,” kata Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Presiden, Theofransus Litaay, dikutip BenarNews.
Sedangkan peneliti senior Gugus Tugas Papua Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, Gabriel Lele, mengatakan laporan itu mempunyai basis data yang terbatas karena hanya dilakukan pada Maret-Agustus 2021. Jika penelitian ini bisa mengumpulkan data dengan jangka waktu lebih panjang, maka kesimpulannya bisa berbeda.
“Benar ada eskalasi kekerasan, namun pelaku utamanya adalah KKB atau OPM. Sementara korban adalah masyarakat sipil, bahkan TNI, Polri,” ujar Gabriel pada BenarNews.
Laporan ini menyebutkan populasi pendatang yang terus bertambah, telah menimbulkan ketegangan antarkomunal di atas konflik atas tata kelola kawasan. Sejak pemerintah Indonesia secara besar-besaran membangun jalan trans Papua di masa pemerintahan Jokowi, OAP terutama mereka yang tinggal di sekitar jalur jalan trans Papua tersebut merasa terancam. Mereka tak hanya terancam oleh pembangunan jalan itu, namun mereka juga terancam oleh potensi penguasaan sumberdaya alam dan sector-sektor ekonomi yang hingga saat ini masih dikuasai oleh kaum pendatang dari luar Tanah Papua. Pada akhirnya, kekhawatiran ini akan mempercepat diskriminasi, marginalisasi hingga depopulasi OAP.
“Jalan itu akan dimanfaatkan secara ekonomi oleh non Papua sehingga secara ekonomi OAP tidak bisa menggunakannya karena belum siap terlibat dalam system ekonomi yang ingin dibangun oleh pemerintah,” kata Profesor Cahyo Pamungkas, peneliti Papua dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN).
OAP juga khawatir jalan trans Papua ini akan mempercepat aktivitas loging di Papua yang berarti akan semakin banyak pos-pos keamanan TNI mapun Polri sepanjang jalan ini, selain menghancurkan sumber-sumber kehidupan mereka. Distribusi barang-barang konsumsi pun akan semakin massif dengan keberadaan jalan Trans Papua ini yang akan memicu perubahan pola konsumsi pada OAP di pegunungan Papua.
“Masyarakat asli Papua khawatir situasi ini akan semakin membuat mereka terdiskriminasi, termarginalisasi hingga akhirnya terjadi depopulasi OAP,” lanjut Profesor Cahyo.
Melihat kondisi terkini Papua dengan meningkatnya migrasi dari luar Papua dengan pengiriman aparat keamanan secara terus menerus, Veronika Kusumaryati, anthropolog Georgetown University menyimpulkan dua hal tersebut saling berkaitan. Para pendatang yang datang ke Papua tak hanya datang karena daya tarik ekonomi dari proyek-proyek pembangunan di Papua dan kekayaan sumberdaya alam Papua. Namun juga kepentingan politik dan ideologi negara, termasuk agama. Keberadaan aparat keamanan akan mendukung kepentingan-kepentingan tersebut. Di sisi lain, kedatangan para pendatang ini akan meningkatkan kompetisi yang sangat besar kemungkinannya akan menyebabkan konflik dan pada satu titik akan terlihat sebagai kekejaman massal atau acorcities yang disebutkan oleh Made Supriatna dalam laporannya.
“Kekuatan negara dengan aparat keamanannya dan kekuatan pendatang dengan kepentingan ekonomi, politik dan ideologinya ini menunjukkan kemungkinan yang sangat besar terjadinya kekejaman massal di Papua pada masa yang akan datang. Ini sudah mulai terlihat di Intan Jaya,” kata Veronika. (*)