Jubi TV – Pendekatan keamanan yang digunakan pemerintah Indonesia selama puluhan tahun menimbulkan banyak kekerasan dan pelanggaran Hak Asasi Manusia atau HAM. Berbagai kekerasan dan pelanggaran HAM itu membuat banyak anak-anak asli Papua, baik itu warga biasa ataupun anak dari tokoh pergerakan Papua, mengalami trauma yang mendalam. Meskipun ada sebagian dari mereka yang memilih jalan berbeda, sebagian yang lain memilih jalan terjal untuk melakukan perlawanan bersenjata.
Praktik impunitas yang dijalankan Indonesia membuat para pelaku kekerasan dan pelanggaran HAM tak terjangkau hukum, membuat para korban tidak mendapatkan keadilan. Praktik impunitas juga memperparah rasa trauma korban, menciptakan aktor pelaku kekerasan baru, memperpanjang siklus kekerasan berulang di Papua. Ketidakadilan dan praktik impunitas menjadi penyemai kekerasan baru, dan Negara seolah menjadi sutradara rangkaian kekerasan yang tak berujung di Tanah Papua.
Damianus Magai Yogi adalah salah satu anak kandung dari Tadeus Yogi, salah satu tokoh Tentara Pembebasan Nasional-Organisasi Papua Merdeka (TPN-OPM, kini dikenal sebagai Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat atau TPNPB) di Wilayah Adat Meepago, Papua. Saat ditemui Jubi pada November 2021 lalu, Damianus Yogi menuturkan bagaimana kisah hidupnya.
Sejak kecil, ia menyaksikan perjuangan ayahnya melakukan perlawanan bersenjata melawan aparat keamanan TNI/Polri membuat kisah hidupnya tak pernah sama dengan kisah anak-anak pada umumnya. Damianus Yogi yang lahir pada 1994 menjadi saksi bagaimana keluarganya selalu dalam ancaman.
“Saya dan mama saya kerap berpindah pindah tempat dari satu daerah ke daerah lain, untuk menghindari serangan dari aparat TNI/Polri,” katanya.
Damianus mengatakan sejak ia kecil ibu kandungnya selalu melindungi dirinya dari ancaman. Ibunya melakukan apapun untuk memastikan anaknya tetap sehat dan aman.
“Sejak dini saya sudah berpisah dengan ayah saya. Saya memilih tinggal bersama mama saya di Paniai, sembari bersekolah,” katanya.
Bila Demianus Yogi ingin menjumpai ayahnya yang berada di hutan, Demianus harus bersurat dulu. Hal itu dilakukannya untuk mencegah risiko bagi ayahnya.
“Waktu bapak saya masih hidup, dia juga sering berceritera tentang keturunan kami. Beliau selalu berpesan agar sebagian dari kami harus bersekolah, tapi juga ada yang harus melanjutkan perjuangan yang dirintisnya bersama Yulius Goo di wilayah Paniai pada tahun 1970-an,” kata Demianus.
Demianus Yogi yang bersekolah di Paniai dulu bercita-cita ingin menjadi Tentara Perdamaian. Namun situasi dan keamanan yang tidak membuat mimpinya kandas. Di bangku kelas 5 SD, cita-cita itu pupus lantaran ia tidak bisa lagi melanjutkan sekolahnya, gara-gara ia dan ibunya menjadi incaran aparat.
Demianus mengenang, cita-citanya gagal tercapai bukan karena ia malas bersekolah, namun karena keselamatan dirinya selalu terancam.
“Cita-cita saya itu pupus seiring dengan menyaksikan keluarga disiksa aparat. Ayah-ibu saya, serta kakak-kakak saya, kerap dikejar aparat,” katanya sambil tersenyum.
Ia berandai-andai, jika keluarganya tak melulu dalam ancaman, mungkin cita-citanya menjadi Tentara Perdamaian bisa terwujud.
“Jika waktu itu saya tetap dibiarkan bersekolah di Paniai, mimpi untuk menjadi Tentara Perdamaian di luar negeri itu bisa tercapai. Namun saya harus menerima konsekuensi sebagai anak dari TPN-OPM, sehingga mimpi saya tidak terindahkan,” katanya.
Demianus berandai-andai, jika cita-citanya itu terwujud, ia tidak akan menjadi warga yang mengangkat senjata di tanahnya sendiri demi meminta merdeka.
“Saya pastinya bisa menolong orang lain di luar West Papua juga yang membutuhkan perdamaian. Seperti bangsa saya Papua yang hari ini butuh perdamaian,” katanya.
Ia mengatakan apa yang dialaminya juga dirasakan oleh anak keturunan para tokoh OPM dan TPN lainnya.
“Di daerah lain di Papua, yang menyaksikan konflik hingga keluarga mereka tewas akibat ditembak aparat, juga merasakan hal seperti yang saya alami,” katanya.
Demianus meyakini, sepanjang Indonesia masih menduduki Papua, Orang Asli Papua (OAP), khususnya anak-anak para tokoh OPM, tidak akan pernah mengalami hidup yang baik.
“Kami selalu diperhadapkan dengan pemerkosaan, kematian dan penyisiran. Sebagaimana yang dialami oleh kakak beradik anak-anak dari mendiang Tadeus Yogi,” katanya.
Demianus merasa, semenjak tahun 1961 – sekarang pemerintah Indonesia belum menganggap Orang Asli Papua sebagai bagian dari Indonesia. Di pihak lain, TPNPB juga belum beranggapan bahwa Papua dan Orang Asli Papua adalah bagian dari Indonesia.
“Selama pemerintah Indonesia ada di Tanah Papua, kami belum pernah hidup aman dan baik. Pemerintah tidak pernah melihat kami. Kami justru diperhadapkan dengan penyisiran, pembunuhan, pemerkosaan, kekerasan, dan intimidasi di tanah kami sendiri,” katanya.
Baginya, perlakuan Negara Indonesia terhadap Orang Asli Papua, khususnya anak-anak tokoh TPN-OPM, bukanlah hal yang baru.
“Sejak tahun 1970-an hingga kini, pengalaman [kekerasan] itu terus beulang. Peristiwa yang sama juga dialami oleh kakak-kakak saya. Perlakuan seperti itu kami hadapi tidak hanya dari pemerintah, tapi juga TNI dan Polri,” katanya.
Menurutnya, tidak hanya keluarganya yang mengalami menjadi korban dari aparat kemanan Republik indonesia.
“Rakyat kecil yang tidak tahu soal juga selalu menjadi sasaran tembak. Ini sangat ironis,” katanya.
Demianus juga menyoroti masalah diskriminasi dan marginalisasi Orang Asli Papua, terlebih terhadap anak-anak dari pimpinan gerakan Papua merdeka dan para keluarga korban pelanggaran HAM. Ia meyakini, diskriminasi itu tidak akan berakhir selama Papua masih menjadi bagian dari Indonesia.
“Kami juga kerap mengalami perlakuan diskriminasi,” katanya.
Hal itulah yang membuat Demianus Yogi membulatkan tekannya untuk angkat senjata dan memperjuangkan kemerdekaan Papua.
“Orang tua telah meletakkan dasar perjuangan kemerdekaan bangsa Papua kepada generasi muda West Papua. Saya akan melanjutkan perjuangan bapak saya. Itu pesan bapak saya selama hidupnya,” katanya.
Diskriminasi dan stigma dialami Jimy Hiluka, anak kandung mantan narapidana politik (Napol) Linus Hiluka, Jimy Hilsom Hiluka mengatakan menjadi anak dari TPN-OPM menempanya untuk belajar mandiri dan selalu optimis untuk menentukan nasib sendiri demi masa depan bangsa Papua. Jimy selalu ingat bagaimana hidupnya berubah setelah ayahnya, Linus Hiluka ditangkap dengan tuduhan terlibat pembobolan senjata Kodim 1702/Jayawijaya di Wamena, ibu kota Kabupaten Jayawijaya, pada 3 April 2003.
“Saya bertumbuh dan besar tanpa bapak di Wamena. Sejak usia saya masih 16 tahun, selama bapak ditangkap oleh aparat kepolisian [dan ditahan] di Lembaga Pemasyarakatan sejak tahun 2003, hingga pada tahun 2015 ia diberi grasi oleh Presiden Joko Widodo,” katanya.
Jimy mengatakan, dirinya menempuh pendidikan SD, SMP, dan SMA di Wamena, lalu berkuliah di Bali hingga meraih gelar Sarjana Pariwisata Internasional. Ia tidak tinggal diam, dan memilih menjadi tulang punggung keluarganya.
“Setelah menamatkan pendidikan saya kembali ke kampung halamannya di Muliama, Wamena. Saya pernah bekerja dengan organisasi yang mengampanyekan perdamaian di Tanah Papua,” katanya.
Jimy mengatakan selama ia berkuliah, pemerintah Indonesia tidak pernah membiayai kuliahnya. Ia berhasil menamatkan pendidikannya dari hasil usaha ibunya serta hasil usaha mandirinya.
“Mama saya membiayai kuliah, saya juga berusaha bekerja sendiri untuk membiayai studi. Saya berterimakasih kepada mama dan bapak, keluarga, bahkan semua pihak manapun yang telah membantu kami dalam menyelesaikan studi saya,” katanya.
Sejak kuliah, Jimy tidak pernah bermimpi menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS) atau bekerja untuk pemerintah Indonesia.
“Saya punya mimpi, bahwa saya harus bersekolah hingga mendapatkan gelar sarjana itu komitmen saya,” katanya. Jimy berpandangan setiap anak tokoh OPM juga berhak dan harus bisa bersekolah.
Ia merujuk hak atas pendidikan yang layak sebagaimana dijamin dalam Undang-undang Dasar 1945.
“Walaupun bapaknya dipenjarakan oleh pemerintah Indonesia di balik jeruji, dan walaupun dia dipindahkan dari penjara ke penjara. Orang tua saya tidak penah penempuh pendidikan menjadi sarjana, sehingga saya berfikir bahwa saya harus belajar,” katanya.
Jimy mengatakan ia juga memotivasi adik-adiknya untuk meraih pendidikan setinggi mungkin.
“Saya bersyukur kepada Tuhan karena adik berhasil, bahkan sedang studi magister di luar negeri,” katanya.
Meskipun Jimy pernah mendapatkan diskriminasi dari teman temannya, ia tetap konsisten dan belajar agar bisa meraih kehidupan yang lebih dari bapaknya yang bukan berlatabelakang seorang sarjana.
“Mereka pernah mengatakan ‘bapaknya pernah masuk tahanan, dipenjarakan di Makasar’, sampai [mengatakan] ‘dia anak OPM’. Tapi saya tidak pernah kecewa, hanya saya sedih. Bapak tidak sama sama dengan saya, itu saja,” katanya.
Jimy pun tak tergoda tawaran orang yang ingin mencalonkannya sebagai bakal calon Wakil Bupati Jayawijaya.
“Pada saat saya SMA, bapak tidak pernah bawa saya di panggung politik. Jadi kita pikir itu urusan bapak,” ujarnya.
Jimy pernah memiliki seorang dosen Bahasa Inggris berkebangsaan Amerika Serikat. “Dosen saya, warga negara Amerika, dia bertanya, ‘ke depan kamu mau jadi apa?’ Saya bilang saat itu, ‘setelah saya tahu Bahasa Inggris saya akan membantu TPNPB dan OPM’. Tapi ketika itu saya tidak mengerti TPNPB dan OPM seperti apa,” kata Jimy.
Ia selalu resah dengan banyak orang Papua yang sudah sekolah hingga sarjana, bahkan meraih gelar Doktor, tetapi tidak pernah berbicara untuk nasib orang Papua yang selalu mengalami perlakuan tidak adil dari Negara. Sebaliknya, para pejuang TPNPB dan OPM berjuang dengan pendidikan yang minim, namun mereka bicara demi kepentingan banyak orang.
“Hal itulah yang mendasari saya sehingga saya berkomitmen untuk harus sekolah hingga sarjana. Sekarang saya sudah tahu Bahasa Inggris, saya bisa menyampaikan kepada dunia tentang Papua seperti apa. Itu menjadi impian serta saya dari dulu. Saya memutuskan untuk tidak akan bekerja di pemerintah sejak saya kuliah. Kalau bisa, saya swasta saja, atau saya bantu di lembaga swadaya masyarakat, atau menjadi relawan. Saya suka bagian itu, dan dapat [sesuai] dengan jiwa saya,” kata Jimy.
Hal itu pula yang membuat Jimy menampik tawaran untuk menjadi bakal calon Wakil Bupati Jayawijaya. Ia berpegang teguh pada komitmennya bahwa ia tidak akan pernah menjadi aparatur di NKRI. Ia tak menampik, dirinya juga memiliki asa bahwa Papua akan merdeka.
“Saya memang tidak suka dengan sistem yang ada di Indonesia. Dan saya tidak suka diperintah, [karena membuat] saya tidak bebas. Saya independen. Sehingga apapun yang bisa saya kerjakan, ya saya kerjakan. Yang penting orang tidak provokasi saya, orang tidak intervensi saya,” katanya.
Prinsip itu pula yang membuat Jimy mengajari anak-anaknya agar rajin bekerja keras. Ia juga mendidik anak seperti sebagaimana orangtua lain mendidik anak-anaknya.
“Pembinaan anak akan disesuaikan dengan lingkungan juga. Anak saya, kalau bertumbuh di lingkungan bapak saya, mereka akan sama seperti kami,” katanya.
Istri Jimy juga bagian dari puluhan ribu Orang Asli Papua yang pernah menjadi korban kekerasan di Papua. Jimy menyatakan ia dan istrinya tidak menyembunyikan latar belakang mereka dari anak-anaknya.
“Apabila anak-anak kami bertanya tentang aktivitas saya atau bapa saya, istri saya tentu akan menjelaskan kepadanya. Kami dalam satu kehidupan, sama-sama menderita dalam perjuangan. Saya selalu menceriterakan sejarah integrasi [Papua dalam Indonesia], kami cerita di honai. Mereka memerhatikan aktivitas kami, dan anak-anak saya yang biasanya melontarkan pertanyaan kepada saya tentang sejarah Papua. Saya harus beritahu karena itu bagian dari pendidikan nonformal,” katanya.
Bagi Jimy, apa yang dia alami, dan apa yang Orang Asli Papua alami merupakan sejarah hidup yang diketahui anak-anaknya. Ia tahu, suatu saat kelak orang bertanya kenapa kakek anak-anaknya pernah ditahan dari penjara ke penjara.
“Itu cerita yang wajib saya sampaikan kepada anak-anak saya. Itu cerita yang akan mereka ceritakan kepada generasi mendatang,” katanya.
Anak-anak Jimy pun punya banyak panggilan kesayangan untuk kakek mereka. Terkadang mereka memanggil kakeknya “Komandan”, terkadang mereka memanggilnya “Bapak Papua”, terkadang mereka juga menyapa dengan sebutan “kakek”.
“Anak saya yang pertama selalu mengikuti ke manapun bapak jalan. Dia dekat dengan bapak saya,” kata Jimy.
Ia berharap anaknya akan bisa mendapatkan pendidikan terbaik, sesuai keinginan mereka.
“Perjuangan membuat saya pas-pasan, itu tantangan anak-anak saya. Tapi kalau Tuhan mau, mereka mengikuti saya. Bapak tidak pernah mengintervensi kami untuk ‘kamu harus jadi yang seperti bapak mau’. Tetapi hari ini adik-adik saya ada yang sudah selesai kuliah dan persiapan mau kuliah ke luar negeri,” katanya.
Jimy memandang ke masa depan, namun ia juga ragu dengan masa depan Papua bersama Indonesia.
“Sepanjang kami masih berada dalam bingkai Indonesia, pada umumnya nasib kami tidak akan membaik. Mulai dari saya [kecil], sudah masuk dalam arena pejuang,” ujar Jimy.
Namun ia mengingat, ayahnya tak pernah menyuruh Jimy menjadi OPM atau TPNPB. Ia pun tak akan mengatur bagaimana anak-anaknya akan menjalani kehidupan mereka.
“Mereka biar menentukan nasib mereka sendiri. Dan talenta yang Tuhan berikan, itu berbeda-beda. Saya ini korban politik dari [situasi yang dialami] bapak. Tapi untuk anak–anak saya, saya tidak bisa mengarahakan mereka harus sama seperti saya. Mereka mau menjadi apa saja, itu hak mereka nanti,” katanya.
Jimy mengatakan, kalaupun ke depan anak-anaknya akan mengikuti jejak kakek mereka, atau mengikuti jejaknya, silahkan saja. Baginya, jalan yang nanti dipilih anaknya adalah pilihan Tuhan.
“Tanggung jawab saya adalah anak-anak saya nasibnya harus [lebih] bagus dari saya. Mereka harus sukses ke depan, suskes dalam perjuangnan, dalam ekonomi-politik, dalam budaya, dalam pendidikan. Mereka akan mendapatkan pendidikan. Akan tetapi visi-misi [mereka] ke depan seperti apa, saya tidak tahu. Saya harapkan nasib anak-anak saya itu menjadi baik,” katanya.
Ayah Jimy, Linus Hiluka mengatakan dirinya kecewa dengan Negara Indonesia yang telah membuatnya mendekam di penjara. Ia juga kecewa, lantaran selama dirinya dipenjara nasib anak-anaknya diabaikan oleh Negara.
“Saya sangat kesal degan Negara Indonesia. Saya ditangkap di depan anak-anak saya. Saya diproses hukum, namun Negara tidak pernah perhatikan nasib anak-anak saya,” kata Linus. (*)