Jubi TV – Pada tahun 1980, LAPAN (Lembaga Antariksa dan Penerbangan Nasional) di Biak mengadakan survei yang luasnya 100 hektare ( 1.000.000 m2) di atas tanah adat Warbon tanpa bertanya atau musyawarah terlebih dahulu dengan pemilik hak ulayat tanah tersebut. Sesudah melakukan survei, barulah hasil survei itu dipakai untuk membuat rapat-rapat yang sifatnya formalitas di bawah tekanan dan ancaman TNI (Koramil Biak Utara). Hal ini terungkap dalam Sidang Pleno Khusus I Kainkain Karkara Byak Tahun 2021 yang dilakukan oleh Kainkain Karkara Byak pada tanggal 7 April 2021.
Sidang Pleno Khusus di Biak ini dilakukan untuk menjawab situasi sosial politik budaya masyarakat adat Byak yang terjadi saat ini menyusul rencana pembangunan Pusat Peluncuran Roket LAPAN atau bandar antariksa di Wilayah Adat Byak khususnya di tanah adat Warbon di Bar Napa. Rencana pembangunan pusat peluncuran roket di Biak, Papua, bukan pertama kali diwacanakan. Sejak 1980-an, LAPAN sudah memiliki tanah di Kampung Saukobye, Distrik Biak Utara seluas 100 hektare yang sudah siap dijadikan pusat peluncuran roket.
Proyek 5 Triliun dan SpaceX
Dalam wawancara dengan CNN Indonesia, Kepala LAPAN Thomas Djamaluddin menyatakan LAPAN telah bertemu Space Exploration Technologies Corporation atau SpaceX dalam Space Symposium di Amerika Serikat pada 2019 untuk berinvestasi dalam proyek bandar antariksa ini.
“Saat Space Symposium, LAPAN juga bertemu perwakilan Space-X untuk membahas tentang pembangunan bandar antariksa di Biak,” kata Thomas kepada CNNIndonesia.com.
Kepala LAPAN Thomas Djamaluddin memperkirakan proyek Bandar Antariksa bisa terlaksana pada 2023-2025. Ia menaksir, nilai proyek itu mencapai Rp5,3 triliun, yang bisa dibiayai dari surat utang.
“Rencana ini akan direalisasikan tahun ini karena masuk dalam rencana strategi LAPAN, juga merupakan amanat Undang Undang No. 21 tahun 2013 tentang Keantariksaan. Diturunkan menjadi rencana induk keantariksaan nasional, kita harus menyiapkan bandar antariksa,” kata Kepala Biro Kerja Sama, Hubungan Masyarakat dan Umum, LAPAN, Chris Dewanto kepada BBC News Indonesia, pertengahan Maret lalu.
Oktober tahun ini, Kepala Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Laksana Tri Handoko mengunjungi Kampung Saukobye, Biak Utara yang akan dijadikan lokasi pembangunan bandar antariksa. Pembangunan bandar antariksa ini tercantum dalam kajian pembangunan bandar antariksa oleh Pusat Kajian Kebijakan Penerbangan dan Antariksa LAPAN, Undang-Undang RI Nomor 21 Tahun 2013 tentang Keantariksaan. Dalam kajian disebutkan bahwa salah satu hal yang memengaruhi Biak menjadi lokasi pembangunan karena LAPAN memiliki aset lahan sebesar 100 hektar di Desa Saukobye, Kabupaten Biak Numfor.
Ketika masyarakat menawarkan harga Rp1 miliar kepada LAPAN, Camat dan Koramil setempat mengatakan terlalu mahal dan permintaan masyarakat itu menghalangi pembangunan.
Bandar antariksa juga masuk ke dalam Draft Rencana Induk Penyelenggaraan Keantariksaan Tahun 2016-2040, di mana pada tahun 2036-2040 Indonesia sudah memiliki teknologi peluncuran roket Low Earth Orbit (LEO) atau pengorbitan satelit ke orbit rendah dan teknologi satelit yang mampu meluncurkan dan mengoperasikan satelit observasi bumi, telekomunikasi, dan navigasi.
Tahun ini, LAPAN akan memulai pembangunan dengan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL). Saat ini tanah yang diklaim milik LAPAN masih berupa hutan produksi yang masih bisa dialih fungsikan. Targetnya pembangunan ini selesai pada 2023 atau 2024 mendatang. Rencana ini ditentang oleh warga asli pemilik hak ulayat atas tanah yang akan dijadikan pusat peluncuran roket itu.
15 juta, ancaman dan tuduhan OPM
Masyarakat adat Warbon, pemilik hak ulayat mengisahkan bagaimana tanah di Saukobye itu bisa diklaim oleh LAPAN sebagai tanah mereka.
“Rapat pertama dengan masyarakat kampung itu terjadi pada tahun 1980, Setelah LAPAN melakukan survei tanah seluas 100 hektar, barulah mengudang masyarakat kampung Andei ( nama kampung waktu itu) secara keseluruhan untuk mengadakan pertemuan,” ungkap Apolos Sroyer, Ketua Dewan Adat Suku Byak (Manfun Kawasa Byak).
Pada pertemuan itu, lanjut Sroyer, Camat setempat mewakili pemerintah meminta masyarakat merelakan tanahnya untuk pembangunan. Camat maupun LAPAN tidak memberi penjelasan tentang apa itu LAPAN. Demikian juga maksud dan tujuan LAPAN mengambil tanah mereka, apakah untuk pembangunan bandar antariksa atau untuk satelit. Apa saja dampak positif dan negatif dari kegiatan tersebut bagi masyarakat adat di sekitar lokasi pun tidak dijelaskan. Pihak LAPAN hanya menyampaikan janji pada rapat tersebut bahwa jika LAPAN membangun lokasi itu tentu masyarakat akan punya rumah, air, telepon, radio dan nonton TV.
“Ketika masyarakat menawarkan harga Rp1 miliar kepada LAPAN, Camat dan Koramil setempat mengatakan terlalu mahal dan permintaan masyarakat itu menghalangi pembangunan. Ketika masyarakat mencoba menolaknya, salah satu anggota TNI Koramil Biak Utara bernama Sersan Komsi (alm) mengancam dan menuduh bahwa penolakan masyarakat itu sama dengan menghalangi pembangunan berarti mau buat gerakan Organisasi Papua Merdeka (OPM),” lanjut Sroyer.
Pada pertemuan pertama inilah posisi tawar masyarakat terutama marga pemilik lokasi tersebut dilemahkan karena takut di sebut OPM. Masyarakat akhirnya diam dan ikut kemauan pemerintah Orde Baru. Trauma masyarakat adat ini terjadi karena kekerasan TNI pada masa Biak Utara di klaim sebagai Daerah Operasi Militer (DOM) untuk menumpas gerakan OPM tahun 1968-1982).
Dalam rapat kedua, kata Sroyer masih terjadi pada tahun 1980, tepatnya pada hari Sabtu, 19 Juli 1980, LAPAN melalui Adolf Fridibon menyerahkan uang ganti rugi kepada masyarakat adat Warbon sebesar Rp 15 juta tanpa tanggapan dari pemilik hak ulayat karena takut diancaman dan disebut sebagai bagian dari OPM.
“Pemerintah kabupaten Biak Teluk Cenderawasih diwakili oleh Sekretaris Wilayah Daerah (SEKWILDA) mengatakan, pemerintah saat ini mau membangun, maka jangan dihalangi,” lanjut Sroyer.
Pada tahun 1994, dilakukan rapat ketiga yang dilaksanakan di Kantor Camat Biak Utara pada 9 Februari 1994. Rapat inipun tidak jauh beda dengan rapat-rapat pada tahun 1980. Rapat ini dianggap tidak menghargai pemilik tanah, semua keberatan yang berkaitan dengan lokasi sebagai sumber penghidupan terus diabaikan. Keberatan terhadap ganti rugi yang layak dan manusiawi tidak ditanggapi serius oleh pihak LAPAN.
Pada rapat tersebut, pemilik hak atas tanah tidak pernah diberikan kesempatan untuk sepakati persetujuan menerima atau menolak untuk menyerahkan lokasi tanah tersebut. Sehingga tidak ada kesepakatan resmi dari pemilik hak ulayat untuk memusyawarahkan hal itu. Masyarakat takut diancam dengan tuduhan melakukan gerakan OPM. Itu sebabnya pemilik tanah adat pada lokasi itu tidak pernah membuat surat pernyataan pelepasan hak atas tanah sebagaimana yang dijadikan dasar oleh LAPAN Biak yang diberi tanggal 22 September 1980.
Koordinator Forum Peduli Masyarakat Biak (FPMB), Michael Awom mengatakan jangan gara-gara uang 15 juta membuat hak masyarakat adat dihilangkan.
“Sesudah 22 tahun barulah masyarakat adat pemilik tanah mengetahui adanya surat pelepasan tertanggal 21 Agustus 2002,” kata Awom.
Proyek bandar antariksa ini dianggap ancaman serius kepada masyarakat adat Biak di Sup Mnuk Sarwom, Bar Napa. Sebab lokasi 100 hektar yang akan dijadikan bandar antariksa tersebut merupakan ruang kelola tradisional dan sumber kehidupan masyarakat adat. (*)