JUBI TV – Empat distrik di Mimika, Papua, terisolasi akibat Sungai Ajkwa tercemar limbah Freeport. Sumber pangan mereka tumpas. Begitu turun dari kapal motor mesin tempel miliknya, Hendrik Omenine sigap memilah ikan yang ia tangkap dari Sungai Ajkwa di Kabupaten Mimika, Papua. Nelayan asal Kampung Manasari, Distrik Mimika Timur Jauh, ini memunguti beberapa ikan dan melemparkannya ke sudut dermaga.
Selesai memilah, Hendrik mengamati ikan-ikan pilihannya itu lebih saksama. “Saya harus memastikan tidak ada ikan yang tercemar tailing,” kata laki-laki 40 tahun ini kepada Tempo/Jubi di dermaga Kampung Manasari pada pertengahan Agustus 2018.
Hendrik mengaku sudah terlatih membedakan ikan yang memakan racun limbah dengan yang masih sehat. Sejak 1999 ia mencari ikan, kian sulit mendapatkan satwa air yang masih segar ketika ditangkap.
“Saya tahu mana yang sudah makan limbah,” ujarnya.
“Ikan kurus pasti sudah tercemar.”
Hendrik mencari ikan untuk ia makan sendiri bersama keluarganya. Menurut dia, ikan Sungai Ajkwa tak laku jika dijual di pasar kabupaten karena pembeli di sana sudah tahu ikan dari sungai ini tercemar limbah sisa pengolahan emas PT Freeport yang ditampung di kolam yang hanya dipisahkan tanggul dari sungai tersebut.
Partikel logam berat sisa produksi tambang emas di kolam itu merembes melalui pori-pori tanggul, lalu mencemari habitat sungai dan masuk ke ladang-ladang sagu.Akibatnya, ladang sagu, yang merupakan makanan pokok orang Papua, juga rusak dan tak bisa dipanen. “Sejak sagu hilang, kami makan ikan,” tutur Hendrik.
Masalahnya, mengkonsumsi ikan juga bukan pilihan karena kini banyak ikan yang memakan limbah atau menghirup zat kimia dalam limbah di sungai itu.Dulu, kata Hendrik, ikan mudah ditangkap bahkan dari tepian dermaga.Kini jangankan ikan, kapal bahkan tak bisa merapat karena sungai mendangkal terkubur limbah.
“Kalaupun ada ikan, sudah pasti tercemar,” ujarnya.
“Jadi, kalau tak ada ikan, kami tak makan.”
Tercemarnya Sungai Ajkwa sebenarnya sudah banyak diteliti lembaga pemerintah dan lembaga swadaya masyarakat. Pada 2006, atau setahun setelah izin pemakaian Sungai Ajkwa untuk mengalirkan limbah dari Bupati Mimika terbit, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia merilis temuan tentang banyaknya tembaga di bawah Sungai Ajkwa yang berasal dari kolam penampungan tailing Freeport.
Tahun lalu, Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) meneliti dampak sosial tailing Freeport di empat distrik itu. Menurut Koordinator Jatam Merah Johansyah, temuan mereka mengkonfirmasi cerita Hendrik. Masyarakat beralih memakan ikan yang tercemar karena lahan sagu tak bisa lagi ditanami akibat terkontaminasi logam berat dari kolam limbah Freeport. Freeport menyebut kolam penampungan limbah itu dengan nama Modified Ajkwa Deposition Area (ModADA).
Berdasarkan analisis mengenai dampak lingkungan (amdal) 300K milik Freeport yang disahkan Kementerian Lingkungan Hidup pada 1997, perusahaan emas asal Amerika Serikat yang beroperasi sejak 1972 itu memang diizinkan membuang limbah hasil pengolahan emas mereka ke Ajkwa dan tiga sungai besar lain di Mimika. Idealnya, tailing hanya mengendap di kolam tersebut. Badan Pemeriksa Keuangan, yang mengaudit pengelolaan limbah pada 2017, menemukan tailing tak hanya ditampung di badan sungai seluas 230 kilometer persegi seperti dalam izin pemerintah, tapi meluas hingga ke muara seluas 239 kilometer persegi karena sistem pengolahan kolam tak bisa melarutkan residu penambangan itu. BPK menyimpulkan tailing juga mengalir ke Laut Arafura sejauh 120 kilometer.
BPK menilai Freeport lalai mengantisipasi dampak lingkungan pembuangan limbah.Khusus bagian kerusakan lingkungan di Sungai Ajkwa, BPK memperkirakan nilainya mencapai Rp 10 triliun.Nilai itu belum termasuk kerugian masyarakat akibat kehilangan mata pencarian atau keluarnya ongkos lebih untuk transportasi laut dan sungai.
Karena endapan tailing itu, kapal bisa melewati airnya hanya ketika pasang, terutama pada pagi. Saat air surut, dari 200 meter, lebar sungai itu menyusut menjadi tinggal 5 meter saja. Ketika Tempo hendak berkunjung ke Manasari, Agustus 2018, pada pukul 3 dinihari Pelabuhan Pomako di Mimika sudah riuh oleh suara pemilik kapal dan penumpang. Mereka harus menginap di dekat pelabuhan agar tak tertinggal air pasang.
Sekretaris Kepala Kampung Atuka, Distrik Mimika Tengah, Festus Tamawiu, mengatakan kapal-kapal yang ada di pelabuhan itu hanya melaut sekali sehari. “Jika ketinggalan air pasang, penumpang harus menunggu hari berikutnya,” ucapnya.
Pagi itu, Vitalis Tamawiu hendak membawa penumpang ke Manasari. “Sudah waktunya berangkat, air mulai naik,” kata Vitalis membangunkan para penumpang. Harga sewa kapal ke Manasari dari Mimika Rp 5 juta untuk perjalanan sungai dan laut selama lima jam.
Di sepanjang perjalanan, Vitalis cekatan mengendalikan perahunya, menghindari penghalang yang ada di depan kapal. Sesekali ia melambat, lalu membelokkan arah kemudi. “Saya sudah hafal di mana saja tailing mengendap,” ujar pemuda Distrik Atuka itu. “Kalau sampai terjebak, butuh seharian untuk lepas.” Meski begitu, ketika kembali ke Mimika, baling-baling kapal Vitalis terjerat lumpur pasir sehingga perlu didorong dengan terjun ke laut.
Freeport bukan tak tahu kolam limbah mereka bocor dan mendangkalkan Sungai Ajkwa. Pada 1999, empat tahun setelah izin Gubernur Irian Jaya keluar, tim peneliti mereka memprediksi bakal banyak tembaga di sungai. Alih-alih mencegahnya, Freeport tetap mengalirkan limbah dan memberikan uang kompensasi kepada masyarakat setelah mengetahui kolam penampungnya bocor.
Pemberian uang kompensasi itu disahkan Pemerintah Provinsi Papua dan Pemerintah Kabupaten Mimika pada April 2012.Freeport memberikan masing-masing US$ 3 juta per tahun. BPK mencatat, hingga 2015, Freeport sudah mengeluarkan dana kompensasi Rp 155 miliar untuk Kabupaten Mimika plus Rp 187 miliar untuk Provinsi Papua.
Masyarakat di Kampung Manasari, kata Hendrik Omenine, terakhir kali menerima dana partisipasi tailing pada 2015. Lewat Lembaga Masyarakat Adat, mereka memperoleh Rp 900 juta. Setiap keluarga mendapat Rp 10 juta per tahun.Namun, setelah itu, pemberian duit tersebut mandek.Hendrik dan tetangganya tak pernah lagi menerima uang kompensasi limbah.
Menurut laporan audit BPK, penggunaan dana partisipasi ini tanpa perencanaan. BPK menemukan tidak ada rencana penggunaan dana sehingga pemakaiannya tidak tepat sasaran. “Dengan pemberian dana partisipasi ini, ada indikasi PT Freeport menyadari dampak lingkungan terhadap ekosistem dari pembuangan tailing tersebut,” tulis BPK dalam laporan mereka.
Juru bicara Freeport, Riza Pratama, mengakui perusahaannya tahu dan memprediksi dampak tailing yang dituangkan dalam amdal 300K. “Karena itu, kami berdiskusi terus dengan Kementerian Lingkungan membenahi dampak tailing ini,” katanya. Riza menuturkan, Freeport memang memberikan dana partisipasi pengolahan tailing kepada masyarakat setiap tahun. Namun, dia menambahkan, Freeport tidak punya hak mengontrol penggunaannya. “Itu sepenuhnya ada di pemerintah daerah.” (*)
Liputan ini kerjasama Tempo Institute, Free Press Unlimited (FPU), Tempo dan Jubi Syailendra Persada, Shinta Maharani dan David Sobolim adalah kontributor utama dalam penulisan investigasi ini.
Artikel ini telah tayang di jubi.co.id -LINK Sumber- https://jubi.co.id/menu-freeport-ikan-berlumur-tailing/