Jubi TV – Dalam sepuluh tahun terakhir, hutan alam Papua seluas 700 ribu hektare telah rusak. Hal itu dinyatakan Manager Kampanye Hutan dan Perkebunan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia atau WALHI, Uli Arta Siagian dalam lokakarya “Dampak Deforestasi dan Perubahan Iklim kepada Komunitas Internasional dan Masyarakat Adat” di Kota Jayapura, pada Sabtu (11/12/2021).
Siagian mengatakan dari catatan Global Forest Watch kehancuran hutan terbesar terjadi di Kabupaten Merauke, di mana hutan seluas 112 ribu hektare rusak karena berbagai izin pembukaan lahan sawit, hutan tanam industri (HTI), dan proyek lumbung pangan. Kerusahan hutan di luar Merauke kebanyakan juga disebabkan berbagai izin investasi di Papua.
Hutan alam di Papua dan Papua Barat menjadi salah satu tumpuan harapan dan paru-paru bumi, dengan luas yang 33,7 juta hektare, atau setara 81 persen daratan. Akan tetapi, hutan alam di kedua provinsi itu menjadi sasaran pembukaan hutan untuk kepentingan pembukaan lahan sawit, hutan tanam industri (HTI), dan proyek lumbung pangan.”Di Papua dan Papua Barat, luasan tutupan sawit saja sudah mencapai 158.821 hektare,” kata Siagian.
Akibatnya, kata Siagian setidaknya sebanyak 161.114 jiwa masyarakat adat yang hidup dan menggantungkan penghidupannya kepada hasil hutan kehilangan mata pencaharian dan tempat berburunya. Kerusakan hutan juga mengakibatkan kepunahan hewan dan tumbuhan, menimbulkan pemanasan global dan perubahan iklim.
Perubahan iklim memicu cuaca ekstrem yang menyebabkan banjir dan longsor. “Ketika lingkungan rusak, hak-hak masyarakat [adat] tercabut, maka butuh kebijakan dari pemerintah yang memulihkan hak-hak rakyat,” ujarnya.
Siagian mengatakan negara harus segera memulihkan hak-hak masyarakat adat di Papua untuk menempati hutan ulayatnya. Hal itu dapat dilakukan melalui pengesahan Rancangan Undang-undang Masyarakat Adat menjadi Undang-undang, menerbitkan kebijakan yang melindungi rakyat dan ruang hidupnya.
Pemerintah juga harus melakukan audit lingkungan dan evaluasi berbagai izin pembukaan hutan. “Hentikan ekspansi izin skala besar atas nama pertumbuhan dan perkembangan,” katanya.
Peserta lokakarya itu, Erlina mengeluhkan masifnya kerusakan hutan di Papua atas nama pembangunan. Menurutnya, mahasiswa yang mempelajari ekologi dan keanekaragaman hayati hutan sudah kehilangan hutan pembelajarannya di Kota Jayapura.
Mahasiswa Program Studi Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Cenderawasih itu mengatakan praktikum pembelajaran tentang tumbuhan misalnya, membuat mahasiswa harus jauh-jauh ke Sentani, karena hutan pembelajaran di lingkungan kampus sudah diganti dengan gedung-gedung. “Kami mahasiswa harus jauh-jauh ke Harapan untuk belajar tumbuhan saja,” kata Erlina. (*)
Reporter : Theo Kelen
Editor: Aryo Wisanggeni G